KH.-A-HALIMPengaruh Gerakan Wahabi dan Pan Islamisme yang terjadi di tanah suci Mekah telah masuk ke Indonesia melalui para pemuda Indonesia yang kembali setelah menuntut ilmu di Mekah. Diantara pemuda Indonesia itu adalah KH. Abdul Halim. Selama di tanah suci dia banyak melakukan komunikasi dengan pemuda-pemuda dari negara-negara lain yang juga dijajah kolonial bangsa-bangsa Eropa.

Abdul Halim pun banyak membaca gagasan dan pemikiran yang dicetuskan Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh. Tak jarang ia mendiskusikan ide-ide menarik dan menantang dari kedua tokoh pembaharu ini ketika belajar di Mekah. Tak aneh bila dia pun berkeinginan melakukan pembaharuan dalam Islam.

Dalam merealisir cita-citanya, KH. Abdul Halim mengikuti jejak Nabi Muhammad S.a.w, yakni dimulai dengan membina/mendidik keluarganya sendiri. Kegiatan pembinaan tersebut dia lakukan di sebuah mushala yang berada di tengah-tengah kebun milik mertuanya. Majelis pendidikan yang dimulai pada 1911 ini diberinya nama Majlis al-’Ilmi.

Di samping itu, KH. Abdul Halim mengajak para kyai untuk meningkatkan mutu pendidikan di pondok-pondok pesantren yang mereka bina dengan mengintrodusir sistem pendidikan modern. Ia menganjurkan anak-anak perempuan agar mengikuti pendidikan sekolah. Beliau pun menganjurkan mereka berpakaian praktis dengan memakai pantalon (celana panjang). Akan tetapi semua anjuran dan ajakan beliau mendapat tantangan keras dari para kyai. Namun demikian beliau tetap terus melaksanakan perbaikan-perbaikan sistem pendidikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, Majlis al-’Ilmi mengundang minat para anggota masyarakat sekitar dan bahkan dari luar daerah untuk turut serta dalam majelis tersebut. Sehingga belum genap satu tahun usia majelis ini, mushala yang ada sudah tak memadai lagi untuk menampung para peminat majelis. Untuk itu dia mendirikan sebuah mushala yang lebih besar lagi di atas sebuah kolam yang dalam bahasa Sunda disebut bale kambang.

Selain itu untuk menampung para santri yang datang dari luar daerah dibangunlah sebuah asrama atau pondokan untuk tempat tinggal mereka. Dengan demikian majelis tersebut berkembang menjadi sebuah pondok pesantren. Materi yang diberikan di pondok pesantren tersebut tidak hanya pengetahuan agama saja melainkan diberikan juga pengetahuan umum.

Karena perkembangan pondok pesantren ini semakin pesat, maka atas anjuran para pengurus pada 1916 didirikanlah sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang diberi nama I’anat al-Thalibibin Li Ta’allumi Faraid al-Din (Bantu Siswa Mempelajari Kewajiban Agama). Untuk mengatur penyelenggaraan pondok pesantren tersebut dibentuklah sebuah organisasi yang disebut Hayat al-Qulub (1916).

Hayat al-Qulub berkembang pesat. Pada mulanya, amal usahanya masih terbatas pada bidang pendidikan. Kini KH. Abul Halim bersama pengurus lainnya merasa perlu meningkatkan amal usaha organisasi dengan jalan mendirikan sebuah organisasi yang lebih kokoh dan menjangkau daerah yang lebih luas, tidak terbatas hanya di daerah Majalengka saja. Untuk itu maka pada tanggal 16 Mei 1916 Hayat al-Qulub berubah nama menjadi Jum’iyyat I’anat al-Muta’allimin.

Wilayah gerak organisasi pun meluas meliputi wilayah Karesidenan Cirebon. Perluasan wilayah gerak organisasi ini dimungkinkan terjadi setelah ia mendapatkan badan hukum dari pemerintah Hindia Belanda pada 21 Desember 1917 atas jasa/bantuan HOS Cokroaminoto, pendiri Syarikat Dagang Islam (SDI).

Dengan meluasnya wilayah gerak, nama organisasi diubah lagi menjadi Persyarikatan Oelama (PO). Dengan nama baru organisasi ini, perkembangan pendidikannya semakin pesat, lebih-lebih setelah PO memperoleh badan hukum yang baru (19 Januari 1924).

Untuk mencapai tujuannya, PO menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran agama Islam, baik kepada anak-anak ataupun orang tua/dewasa. PO namyak mendirikan madrasah-madrasah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang-cabangnya.

Di pusatnya di Majalengka, PO antara lain mendirikan Madrasah Mu’allimin pada 1923. Madrasah ini kemudian berubah nama menjadi Sekolah Guru Islam (SGI) Darul Ulum (sekarang menjadi Madrasah Aliyah). Sedangkan di cabang-cabang, berdirilah madrasah-madrasah tingkat Diniyah, Ibtidaiyah, Tsnawiyah dan Aliyah.

Di samping mendirikan lembaga pendidikan formal, PO mendirikan juga lembaga pendidikan nonformal (1920-1925) dengan tujuan meningkatkan pendidikan masyarakat ke arah (1) kesadaran sebagai bangsa; (2) kesadaran untuk beragama; dan (3) mengusir kolonialisme imperialisme.

Di samping pendidikan, bidang usaha lainnya pun menjadi perhatian PO. Itu meliputi baik bidang sosial, ekonomi, dakwah, maupun politik. Dalam bidang dakwah/penerangan PO antara lain menerbitkan majalah SOEARA PO (1927-1928).

Dalam bidang sosial PO mendirikan Panti Asuhan Anak-Anak Yatim Piatu dan mengusahakan terlaksananya zakat. Dalam bidang ekonomi PO mendirikan percetakan sebagai usaha untuk mencukupi kebutuhan organisasi.

Sementara itu, dalam bidang politik, PO berperan serta secara aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam hal ini PO menyalurkan aspirasi politiknya melalui federasi organisasi massa Islam Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) yang kemudian berubah nama menjadi partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Kegiatan-kegiatan PO dikoordinasikan secara modern dengan dipecah dalam berbagai majelis/departemen dan organisasi otonom.

Majelis-majelis yang dibentuk PO adalah:
1. Majelis Pendidikan dan Pengajaran (POMPER)
2. Majelis Penyiaran Islam (POMPI)
3. Majelis Usaha (POMPU)
4. Majelis Pemuda (POMDA)

Sedangkan organisasi otonom yang dibentuk adalah:
1. Hizbul Islam Padvinder Organisasi PO (HIPO)
2. Persatuan Anak-anak PO (PAPO)
3. Persatuan Anak-anak Perempuan PO (PAPPO)
4. Persatuan Guru PO (PGPO)
5. Penolong Kesejahteraan Oemat (PKO).

Namun, majelis pendidikan merupakan bagian paling sibuk mengingat lembaga pendidikan yang diselenggarakan PO berkembang ke seluruh pulau Jawa dan Madura. Bahkan, setelah mendapatkan badan hukum yang baru (18 Agustus 1937) PO berkembang sampai ke Sumatera bagian Selatan (Palembang dan Lampung).

Namun sangat disayangkan perkembangan PO tidak lancar seperti yang diharapkan. Penyebabnya, pergantian kekuasaan penjajah dari Belanda ke Jepang membawa akibat buruk terhadap perkembangan organisasi-organisasi Islam di Indonesia, termasuk PO. Semua organisasi pergerakan Islam dibekukan kegiatannya oleh pemerintah Jepang.

Untungnya keadaan tersebut tidak berlangsung lama, karena pada 21 November 1942 PO diijinkan aktif kembali. Hanya saja wilayah operasinya dibatasi se-karesidenan Cirebon. Pembatasan ini pun hanya berlangsung beberapa bulan saja. Pada 15 Pebruari 1943 PO mendapatkan ijin operasional untuk melakukan kegiatan di seluruh Jawa dan Madura.

Untuk kesekian kalinya nama organisasi berubah lagi menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI). Dengan berubah nama maka tujuan organisasi pun diperluas, yakni (1) mengajak masyarakat kembali pada tuntunan Ilahi; dan (2) mengurangi pertentangan-pertentangan di antara ummat Islam sebagai akibat adanya politik devide et impera pemerintahan kolonial Belanda.

Banyak tokoh yang telah berjuang melalui PO maupun POI. Antara lain, KH. Moh. Ilyas, KH. Zubaedi, KH. M. Hidayat, Mas Seta Sentana, Habib Abdullah Al Jufri, Rd. Sastrakusumah, Rd. Acung Sahlan, KH. Abdul Halim, KH. S. Solehuddin, Mu’allim Asy’ari, Mu’allim Bunyamin, Mu’allim Abhary, KH. Ambari, A. Jeman, dan KH. Moh. Junaedi. (zoom/intisabi/pui.or.id).*

Written by puijabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *