Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A*

*Ketua Biro Dakwah PUI Jawa Barat, Wakil Ketua Dewan Syariah PUI Kota Bandung, Anggota Komisi Litbang MUI Kota Bandung, Sharia Advisor Syaamil Group (Syaamil Quran), Pembina & Penasehat Syariah Umma Indonesia.

Aspek-Aspek Muamalah

Dalam konteks muamalah dalam makna luas, Syekh Ibnu Abidin rahimahullahu, dalam kitabnya Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar membagi aktivitas muamalah dalam 5 bidang:

  1. Al-Mu’awadhah al-Maliyah (Transaksi kebendaan)
  2. Munakahat (Perkawinan)
  3. Muhasanat (Hukum Acara)
  4. Amanat (Pemberian kepercayaan)
  5. Tirkah (harta warisan)

 

Ruang Lingkup Fiqih Muamalah

Dalam ruang lingkupnya, umumnya para ulama membagi fiqih muamalah menjadi 2, yaitu Al-Mu’amalah Al-Adabiyyah dan Al-Mu’amalah Al-Madiyyah.

  1. Al-Mu’amalah Al-Adabiyyah adalah muamalah yang ditinjau dari cara tukar menukar benda dengan menggunakan panca indera manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban. Ruang lingkupnya mencakup:
  2. Ijab qabul
  3. Saling meridhai
  4. Tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak
  5. Hak dan kewajiban
  6. Kejujuran
  7. Penipuan
  8. Pemalsuan
  9. Penimbunan
  10. Segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.

 

  1. Al-Muamalah Al-Maddiyyah adalah muamalah yang bersifat kepemilikan benda, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemudharatan dan yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dll. Ruang lingkupnya meliputi:
  • Jual beli (Al-Bai’ at-Tijarah)
  • Gadai (Rahn)
  • Jaminan dan tanggungan (Kafalah dan Dhaman)
  • Pemindahan utang (Hiwalah)
  • Jatuh bangkrut (Taflis)
  • Batasan bertindak (Al-Hajru)
  • Perseroan atau perkongsian (Asy-Syirkah)
  • Investasi (Al-Mudharabah)
  • Sewa menyewa tanah (Al-Musaqah Al-mukhabarah)
  • Kerjasama pertanian (Muzara’ah)
  • Upah (Ujrah)
  • Gugatan (Asy-Syuf’ah)
  • Sayembara (Al-Ji’alah)
  • Pinjaman (Qaradh)
  • Pembagian kekayaan bersama (al-Qismah)
  • Pemberian secara sukarela (al-hibah)
  • Pembebasan (al-Ibra’)
  • Perdamaian (ash-Shulhu)
  • Pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)
  • Pinjaman barang (‘Ariyah)
  • Sewa menyewa (Al-Ijarah)
  • Penitipan barang (Wadi’ah)
  • Ba’i Murabahah
  • Bai’ Salam
  • Bai Istishna’
  • Ba’i Muajjal dan Ba’i Taqsith
  • Ba’i Sharf dan Konsep Uang
  • Uang Panjar/DP (’Urbun)
  • Riba
  • Surat utang (Sukuk)
  • Faraidh (warisan)
  • Barang tercecer (Luqathah)
  • Waqaf
  • Hibah
  • Wasiat
  • Pengakuan (Iqrar)
  • Pembagian harta rampasan perang (Fa’i dan Ghanimah)
  • Pembagian zakat (Qism ash-Shadaqat)
  • Discount (Muqasah)
  • Pajak (Kharaj, Jizyah, Dharibah)
  • Baitul Mal
  • Dan lain-lain

 

Prinsip-Prinsip Fiqih Muamalah

Pada dasarnya segala bentuk aktivitas muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil, faktor atau sebab-sebab yang mengharamkannya. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaedah fiqih,

اَلأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ (فِى الْمُعَامَلاَتِ) الإِبَاحَةُ، إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ

“Pada dasarnya pada segala sesuatu (pada persoalan muamalah) itu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”

الآصل في المعاملة الابا حة  حتى يدل الدليل على تحريمها

“Pada dasarnya semua aktivitas muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya.”

 

Muamalat adalah aturan syariah tentang hubungan sosial di antara manusia. Hukum-hukum muamalat memberikan perhatian sangat besar terhadap kemaslahatan manusia dan maqashid syariahnya.

Untuk itu dalam muamalat, dijelaskan secara luas illat, rahasia dan tujuan kemaslahatan suatu hukum muamalat. Ini mengandung indikasi agar manusia memperhatikan kemaslahatan dalam bidang muamalat, tidak hanya berpegang pada tuntutan teks semata-mata, karena mungkin suatu teks ditetapkan berdasarkan kemaslahatan tertentu, kondisi, adat, waktu dan tempat tertentu.

Oleh sebab itu, prinsip dasar dalam muamalah adalah mubah (boleh), namun ada beberapa hal penting yang menjadi spirit dasar muamalah yang harus diperhatikan.

  1. Muamalah dilakukan atas prinsip dasar keadilan, sukarela, dan tidak boleh ada unsur paksaan serta tindak kezaliman. Hal sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala,

يآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

  1. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan. Hal ini secara gamblang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ عُباَدَةَ ابْنِ صَامِتِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. -رواه أحمد وابن ماجة

“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].

Hadits ini kemudian menjadi dasar dilahirkan kaedah fiqih yang menyebutkan,

اَلضَّرَرُ يُـزَالُ

“Kemudharatan harus dihilangkan.”

  1. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai Islam yang universal, rahmatan lil ‘Alamin. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam Al-Quran,

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

“Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslim.” [QS. An-Nahl: 89].

وَ ما اَرْسَلْناکَ اِلاَّ رَحْمَهً لِلْعالَمِینَ

“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS. Al-Anbiya: 107].

Rahmatan Lil ‘alamin, di mana kegiatan muamalah yang dilakukan sejatinya mendatangkan kebaikan kepada seluruh makhluk, termasuk tumbuh-tumbuhan, hewan dan lingkungan. Rahmatan Lil ‘alamin, juga bermakna bahwa aktivitas muamalah yang kita lakukan tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh umat Islam, tetapi juga nonmuslim bahkan manusia sejagat. Karena muamalah Islam membawa prinsip-prinsip global dan universal. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu. Sungguhn, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” [QS. Al-Mumtahanah: 8].

 

Urgensi Fiqih Muamalah

Fiqih Muamalah, menduduki posisi yang penting dan urgen dalam agama Islam. Hampir tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib (fardhu) bagi setiap muslim. Kewajiban itu disebabkan setiap muslim tidak terlepas dari aktivitas ekonomi. Bahkan sebagian besar waktu yang dihabiskan seorang manusia adalah untuk kegiatan muamalah, atau mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya.

Tidak mengenal aturan dan ketentuan dalam muamalah bisa membuat seorang muslim terjatuh atau terjebak dalam transaksi yang diharamkan. Sepertimana yang dibimbangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” [HR. Al-Bukhari].

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu juga memberi peringatan kepada kita agar mempelajari ilmu jual-beli,

من اتجر قبل أن يتفقه ارتطم في الربا ثم ارتطم ثم ارتطم

“Barang siapa yang berdagang namun belum memahami ilmunya, maka dia akan terjerumus kepada riba, terjerumus dan terjerumus.” (Imam Muhammad Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj).

Bahkan saking pentingnya ilmu muamalah ini, sehingga khalifah Umar bin Khatthab berkeliling pasar seraya menyerukan,

لا يبع في سوقنا  إلا من قد تفقه في الدين

“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang telah mengerti fiqih (muamalah) dalam agama Islam.” [HR. At-Tirmidzi].

Urgensi fiqih muamalah ini juga diuraikan oleh Syekh Husein Shahhatah, “Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari.” (Husein Sahhatah, Al-Iltizam bith-Thawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat al-Maliyah).

Mengenal dan mengilmu fiqih muamalat tentu saja tidak hanya mendatangkan kebaikan di dunia tetapi juga kebaikan di akhirat. Dengan demikian tercipta keharmonian antara hablun minallah dan hablun minnas, keseimbangan antara keshalehan individu dan keshalehan sosial. Wallahu a’la wa a’lam.

 

Sumber Bacaan:

  1. Abdullah Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh
  2. Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah
  3. Husein Sahhatah, Al-Iltizam bith-Thawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat al-Maliyah.
  4. Ibnu Ashur, Maqashid Asy-Syariah al-Islamiyah
  5. Ibnu Najim, Al-Asybah wa An-Nazhair
  6. Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni
  7. Mu’adz Muhammad Abdullah Abul Fathi Al-Bayanuni, Qawa’id Nazhariyyah
  8. Muhammad Mustafa Syalabi, Tahlil al-Ahkam
  9. Wahbah Az-Zuhaily, Ushul Al-Fiqh al-Islami

 

Written by PUI Jabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *