Oleh: Syamsudin Kadir
Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat

Biang Kevakuman Gerakan Mahasiswa

Walau begitu, gerakan mahasiswa tak luput dari kritik. Misalnya, gerakan mahasiswa kerap dinilai berjalan di tempat tanpa melakukan apa-apa alias vakum dan stagnan. Padahal dalam sejarahnya, seperti Angkatan ’98, gerakan mahasiswa mampu menggulingkan rezim Orde Baru (Orba), sehingga Presiden Soeharto (Harto) yang menjadi simbol utama Orba berhenti menjadi presiden (21 Mei 1998). Pengalaman sejarah semacam ini mestinya menjadi starting point untuk menyelamatkan bangsa yang terus menerus diuji berbagai permalahan yang pelik dan rumit.

Mesti diakui bahwa pasca reformasi, gerakan mahasiswa teridap fenomena kevakuman: kehilangan ruh dan isu. Bahkan gerakan mahasiswa sibuk dengan label organisasinya masing-masing seperti “himpunan”, “kesatuan”, “pergerakan”, “ikatan”, “persatuan”, “gerakan”, “keluarga” dan label lain yang bisa jadi hanya menjadi “beban” gerakan mahasiswa secara keseluruhan; bukan untuk membela kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Fakta ini tentu merupakan “rapot merah” yang mesti diperbaiki oleh gerakan mahasiswa era ini.

Jika dikaji, maka kondisi demikian disebabkan oleh beberapa hal, pertama, terjadinya fragmentasi (perpecahan) intern gerakan mahasiswa. Hal tersebut—menurut Peneliti Katalis Alfian (2004)—karena prinsip ideologi yang menancap pada sekelompok mahasiswa yang condong mengarah pada ‘perbedaan idealisme’ yang mengerucut menjadi perpecahan dalam pergerakan. Dampaknya berbagai isu yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas terkesan terabaikan. Gerakan mahasiswa malah dianggap sibuk dengan dirinya sendiri, sementara masyarakat yang mesti mereka bela terabaikan bahkan ditepikan.

Kedua, munculnya mahasiswa opurtunis dan pragmatis, sehingga posisi gerakan mahasiswa dimanfaatkan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Hal tersebut ditandai dengan sikap “dukung-mendukung” gerakan mahasiswa kepada calon tertentu dalam berbagai perhelatan demokrasi; baik pileg, pilpres, maupun pilkada dalam berbagai macam cara dan bentuk. Hal ini memang agak pelik, namun bila dibiarkan berlangsung tanpa dibarengi dengan strategi kolaborasi yang matang dan bernyawa kepentingan bangsa dan negara maka hanya akan membuat gerakan mahasiswa mati langkah dan kehilangan arah.

Ketiga, munculnya apatisme mahasiswa dari peran pentingnya sebagai directur of change (pelaku utama perubahan) sekaligus agent of change (agen perubahan), moral force (kekuatan moral), intelectual force (kekuatan intelektual) dan iron stock (perangkat keras) bangsa. Dan preseden buruk yang paling menyedihkan adalah mahasiswa terlena dalam kubangan narkoba, minuman keras, dan ‘cinta palsu alias pacaran’ yang bisa menambah persoalan sosial seperti hamil di luar nikah, aborsi dan sebagainya. Tak banyak memang, sebab itu hanya kasuistik sifatnya, namun yang sedikit itu malah berdampak pada citra buruk mahasiswa di mata masyarakat.

Rekonstruksi Soliditas

Menyikapi berbagai kondisi tersebut, terutama dalam kerangka refleksi 23-an tahun reformasi (1998-Mei 2021), gerakan mahasiswa perlu mengambil banyak hikmah dan pelajaran dari sejarah. Sebuah pepatah mengatakan, “sejarah akan selalu berulang walau dengan cara yang berbeda”. Untuk itu, gerakan mahasiswa disesak untuk melakukan apa yang saya sebut dengan “Rekonstruksi Soliditas”, yaitu dengan mengoptimalkan kembali ruh dan spirit perjuangan gerakan mahasiswa seperti yang telah dilakukan oleh generasi pendahulu, gerakan mahasiswa era sebelumnya.

Dalam konteks itu, ada beberapa hal yang mesti dilakukan, pertama, membudayakan pemahaman sisi persamaan perjuangan dan menerapkan sikap toleransi dalam hal-hal yang bersifat ekslusif bagi intern masing-masing gerakan mahasiswa. Kedua, menjalin komunikasi dengan mahasiswa dan antar gerakan mahasiswa dengan mengedepankan misi suci dalam bingkai panggung besar: membangun masa depan Indonesia. Ketiga, meruntuhkan sikap saling curiga bahkan fitnah serta menepis jauh-jauh sikap high egoisme yang rentan menghinggapi gerakan mahasiswa. Keempat, mengikis infantilisme (sikap kekanak-kanakan) dalam tubuh gerakan mahasiswa. Kelima, membangun idendependensi secara struktural dari kepentingan politik praktis yang cenderung berjangka pendek. Keenam, membangun sikap kritis terhadap berbagai realitas sosial dan kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, tentu dengan tetap dalam bingkai objektifitas, rasionalitas dan konstruktif bagi kepentingan jangka panjang.

Mengevaluasi gerakan mahasiswa—terutama dalam satu dasawarsa terakhir (2010-2021)—yang cenderung stagnan, vakum, dan fragmentasi, maka ada keharusan bagi gerakan mahasiswa untuk melakukan the big work (pekerjaan besar) yaitu merekonstruksi soliditas gerakan sehingga lebih sistematis, menghindari deviasi gerakan yang mengarah kepada kevakuman gerakan, serta berupaya serius mencari titik temu yang memungkinkan gerakan mahasiswa bersatu padu dalam tujuan besar: turut serta dalam membangun bangsa dan negara Indonesia bersama elemen bangsa lainnya secara produktif.

HIMA PUI memiliki peluang besar untuk berkontribusi pada upaya membangun soliditas gerakan mahasiswa di berbagai levelnya. Potensi dan sumber dayanya sangat memungkinkan untuk berperan lebih praktis dan dalam skema isu yang lebih luas namun menyentuh kepentingan publik. Apalah lagi di era media informasi dan komunikasi yang serba canggih ini, peran semacam itu sangat terbuka lebar untuk dijalankan. Kemauan untuk mencari titik temu antar organisasi, melek pada media dan situasi sekitar bahkan global adalah sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh lagi. Tradisi literasi pun mesti dikembangkan menjadi tradisi organisasi, sehingga kapasitas intelektual aktivis dan organisasinya semakin terjaga. Akhirnya, selamat melakoni peran sejarah wahai seluruh gerakan mahasiswa Indonesia! (*)

Written by PUI Jabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *