|
Dr. Engkos Kosasih, L.c., M.Ag |
Oleh : Dr Engkos Kosasih, Lc., M.Ag
(Ketua DPW PUI Jawa Barat)
Ketika Wabah menjadi Endemi
Pada tahun 18 H, wabah Thaun meluas di Emaus, desa Palestina yang terletak sekitar 28 km sebelah tenggara dari Jaffa dan kini telah dihancurkan penjajah dari orang-orang Yahudi pada tahun 1967. Wabah ini telah menelan banyak korban jiwa dari kalangan para sahabat dan tabi’in. saking besarnya wabah Thaun yang melanda Syam ini, Umar bin Khattab pun bersumpah bahwa ia tidak akan merasakan lemak atau daging sampai kehidupan di Syam pulih seperti sediakala. Hal ini sebagaimana dinukil sejarawan Ibn al-Atsir dalam kitab “al-Kamil”. Sayang, berita seputar kehidupan harian di Syam-termasuk pelaksanaan Jum’at dan salat berjamaah-itu sangat minim sekali. Untung saja kita menemukan data itu di masa berakhirnya wabah endemi itu dalam kitab “Irtifa’ ath-Thaun”.
Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits dalam musnadnya, yang bersumber dari Syahr bin Hausyab, dari Rabih-ayah tirinya- bahwa ia menyaksikan epidemi Amwas. Saat itu Syam dipimpin Abu Ubadah bin al-Jarrah yang meninggal akibat wabah itu. Kemudian digantikan oleh Muadz bin Jabal yang kemudian juga meninggal. Setelah itu, tampuk kepemimpinan dipegang Amru bin Ash. Ia pun berdiri lalu berkhutbah, “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung.” (Diriwayatkan dari Imam Ibn Hajar Al-Asqalani dalam kitab Badzal Maa’un hal 163).
Terdapat berbagai riwayat yang kontroversial satu sama lainnya terkait apakah orang-orang mengiyakan pendapat Amru bin Ash atau justru mengacuhkannya. Namun berakhirnya wabah itu sangat logis. Perkataan, “bercerai-berai lah ke gunung-gunung’ itu sangat mutawatir bersumber dari Amru bin Ash, sebagaimana dinukil dari berbagai jalur oleh At-Tabary dalam kitab Tahdzib al-Atsar, Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban dalam kitab sahih keduanya. Bisa dipastikan bahwa perintis konsep isolasi diri dalam menyikapi wabah adalah Amru bin Ash. Perintah menyebar ke pegunungan dengan sendirinya menggugurkan kewajiban jumat dan salat berjamaah karena hanya berlaku bagi para penduduk di sebuah negeri yang jauh dari kegentingan akibat wabah endemi.
Pandemi Wabah di Mekah
Dilaporkan dalam buku-buku sejarah Islam bahwa masjid-masjid itu dinonaktifkan karena epidemi berulang kali. Ternyata hal ini pun tidak dapat dihindari oleh kota Mekah dan Masjdil Haram. Ibn Hajar dalam kitab “Inba al-Ghamr bi Anba al-Umr” menulis pada tahun 827 H, “Pada awal tahun ini, di Mekah terjadi wabah endemi besar dimana merenggu setidak-tidaknya 40 orang per harinya. Dalam bulan Rabiul Akhir, sebanyak 1700 orang telah meninggal. Ada kabar yang mengatakan bahwa Imam di Maqam Ibrahim ketika salat, hanya diikuti oleh dua orang makmum saja, sedangkan sebagian imam madzhab lainnya menganggap tidak salah salat berjamaah jika tidak ada makmum bersama imam”.
Saya tidak tahu apakah penghentian ini karena sebab kematian banyak orang dan juga kesibukan merawat para penderita wabah, juga karena kesibukan menguburkan banyak mayat. Atau juga karena ada ketakutan akan wabah yang merajalela itu yang hanya dalam waktu 2 atau tiga bulan telah merenggut 1700 jiwa. Hanya yang jelas bahwa mereka berhenti salat di masjidil haram karena takut terinfeksi wabah berbahaya itu.
Beberapa dekade sebelumnya, Ibn Idhari al-Marakasyi dalam kitabnya “al-Bayan al-mu’rib fi akhabr al-andalus wa al-maghrib” mengatakan bahwa wabah endemi telah melanda Tunis tahun 395 H yang menyebabkan kepailitan hidup, harga melambung, sembako menghilang, jumlah tentara menyusut, kematian orang banyak baik dari kalangan elit maupun hina papa. Adegan yang tersisa hanyalah tindakan pengobatan seadanya di mana-mana atau prosesi pemakaman jenazah. Masjid-masjid di Qairuwan pun kosong melompong”.
Andalusia juga mengalami hal serupa. Imam adz-Dzahaby, dalam kitabnya “Tarikh al-islam” menceritakan persitiwa wabah tahun 448 H, dengan mengatakan, “Kekeringan dan wabah telah melanda Andalusia. Akibatnya banyak nyawa yang melayang. Semua penghuni kota Seville pun semuanya tewas sehingga masjid-masjid pun ditutup karena tidak ada orang yang salat di dalamnya”. Dalam kitabnya yang lain, “Siyar” disebutkan bahwa pada tahun itu terjadi wabah endemik yang besar di Andalusia. Endemi di Cordoba pun tak bisa menyamainya. Masjid-masjid pun ditutup. Tahun itu disebut tahun kelaparan”.
Pada tahun selanjutnya, 449 H, Ibn al-Jauzi merinci dengan detil terkait wabah endemi besar yang cepat menyebar dan menewaskan banyak orang. Apa yang terjadi pada saat itu yang dikeal dengan sebutan Asia tengah, jumlah orang yang tewas mencapi 2 juta jiwa. Kemudian wabah ini menyebar ke bagian Barat yang mendekati tanah Irak. Beliau menulis, “pada tahun 449 H, para pedagang di balik sungai Euprat melaporkan tentang menyebarnya wabah endemik besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dalam satu hari saja, daerah itu mengurus 1800 jenazah. Total jumlah mayat yang tercatat sampai laporan ini ditulis itu mencapai 2.650.000 jenazah”.
Sang sejarawan juga menambahkan gambaran panik yang melanda Andalus, persis dengan suasan kepanikan akibat Virus Corona, “Orang-orang di Andalusia tidak menyaksikan di kota itu kecuali pasar-pasar yang kosong, jalan-jalan yang lengang, pintu-pintu rumah yang tertutup. Laju perdagangan dan urusan dunia lainnya ikut terhenti. Dari pagi sampai malam, kegiatan orang-orang hanyalah memandikan, mengkafani dan mengubur mayat-mayat. Masjid-masjid pun kosong dari shalat berjamaah”.
Kegembiraan yang Tertunda
Pada tahun 749 H, mesir dilanda wabah thaun yang kalua di Eropa dikenal dengan nama the black death. Al-Maqrizy dalam kitabnya al-Suluk li ma’rifah Dual al-Muluk, menceritakan peristiwa itu dengan mengatakan tentang dampak sosial dari wabah ini, “Semua pesta pernikahan dibatalkan, karena tak ada tradisi menggelar pernikahan di musim wabah. Suara nyanyian pun terhenti. Suara adzan di berbagai tempat tidak terdengar lagi. Hanya di sebuah masjid raya sajalah terdengar adzan dikumandangkan.” Ibn Tagry Badry dalam kitabnya “al-Nujum al-ahirah” juga menyebutkan suasana menyedihkan pasca wabah dengan tambahan redaksi, “Kebanyak Masjid maupun pesantren pun ditutup”.
Di sisi lain, buku-buku sejarah menjelaskan tentang bagaimana sikap orang-orang menghadapi wabah ini dengan menggelar pertemuan dan ibadah di masjid-masjid. Dalam masnuskrip al-Qahi ahli Sejarah Syamsuddin Muhamad bin Abdul Rahman al-Syafiiy yang berjudul Syifaul al-Qalb al-Mahzun fi maa yataalq bi at-thaun” menyebutkan bahwa pada tahun 764 H telah terjadi wabah endemi besar. Orang-orang pun beribadah di tengah malam, berpuasa di siang hari. Bersedekah dan bertaubat. Kami pun tanpa terkecuali, dari laki-laki, wanita sampai anak-anak kami, pergi meninggalkan rumah dan menetap di masjid-masjid”.
Adalah Ibn Hajar al-Asqalany yang cerdas mendokumentasikan tersebarnya wabah lebih meluas lagi setelah digelarnya berbagai ibadah kolektif. Dalam kitab Inba al-Ghmar beliau menyebutkan bahwa wabah Thaun melanda Mesir pada tahun 833 H. salah seorang penguasa yang bernama Syihabuddin Syarif itu mengumpulan 40 keturunan nabi yang nama awalnya adalah Muhamad. Masing-masing mereka dibekali sejumlah uang. Mereka pun lalu membaca al-Qur’an setelah salat Jum’at di masjid al-Azhar sampai asar tiba. Setelah waktu asar hampir tiba, mereka pun berdiri lalu menggoyang-goyangkan tangannya. Sebagaian orang non-Arab berkata kepada sang penguasa bahwa ini adalah mencegah wabah Thaun. Kemudian Ibn Hajar berkomentar,” Setelah mereka selesai beraktvitas, wabah pun justru semakin mewabah luas”.
Ibn Hajar pun memiliki komentar menarik lainnya terkait lebih menyebarnya wabah selepas kedatangan para jamaah haji dari Hijaz. Beliau bercerita tentang wabah Thaun yang terjadi di Mesir tahun 848 H yang telah menelan korban sebanyak 102 orang. Lalu jumlah korban pun semakin bertambah lagi, sampai tiba pula rombongan jamaah haji dari Hijaz, jumlah yang korban semakin bertambah banyak, termasuk anak-anak dan para hamba sahaya. Ada yang mengatakan bahw adalam sehari, tercatat 1000 orang tewas. Boleh jadi para jamaah dari Hijaz yang becampur dengan penduduk setempat itu menambah infeksi wabah semakin menjadi-jadi”.
Diantara komentar cerdik Ibn Hajar lainnya adalah apa yang beliau sebutkan dalam kitab Inba al-Ghamr bahwa salah seorang ulama Fikih yang melakukan isolasi diri di kamarnya, ternyata menjadi cara untuk ia selamat dari wabah. Tatkala beliau menjelaskan biografy al-Qadhy ibn Abu jaradah al-Halaby, beliau mengutip berita menarik yang isinya, “Tatkala wabah melanda Mesir, sang Qadhi pun sangat ketakutan dibuatnya. Ia pun segera membuat berbagai olahan obat maupun wirid-wirid. Agar ia tidak diundang untuk menyolati jenazah korban wabah ia pun berpura-pura sakit karena takut mati. Takdir Allah pun memutuskan bahwa ia selamat dari wabah.Hal menarik lainnya dalam sejarah islam terkait Isolasi mandiri agar tidak melakukan kontak dengan banyak orang walau harus meninggalkan kota mereka adalah cerita Ibn al-Hambaly al-Halaby dalam kitanya, “Dur al-Habab fi Tarikh Halb” ketika menceritakan biography muridnya Syah Muhamad al-Dakny, ia mengatakan bahw aorang tuanya ketika wabah melanda Halb, ia pun bersama beberapa pengikutnya mengungsi ke perkebunan karena takut mati. Allah pun mentakdirkan mereka selama saat itu, namun tak lama kemudian bapak adan anaknya itu pun tewas akibat wabah lain”. (Zoom)