Oleh : Dr. Engkos Kosasih, Lc, M.Ag
(Ketua DPW PUI Jawa Barat
“Di negeri ini, telah telah terjadi wabah epidemi yang tak terkirakan besarnya. Tatkala orang-orang berjalan kaki, mereka tidak melihat kecuali pasar yang kosong, jalan yang lengang dan pintu-pintu rumah tertutup, sedangkan kebanyakan masjid kini lebih kosong karena tidak ada jamaah di dalamnya”!! Itulah narasi tokoh sejarawan muslim, Imam Ibn al-Jauzy (wafat 597 H) tentang wabah besar yang terjadi pada tahun 449 H di Mesir. Dunia saat itu terguncang, kepanikan melanda semua orang, persis seperti yang dirasakan manusia modern saat ini akibat pandemi Covid-19!
Epidemi Corona telah mempengaruhi detil-detil kehidupan kita saat ini. Ia menyebabkan manusia berhenti bekerja, terganggunya kegiatan belajar-mengajar, tertundanya perjalanan antar negara, merusak segala perencanaan, harus saling menjaga jarak dan isolasi diri di tempat tinggalnya. Namun kebingungan melanda mayorits umat tatkala harus meyikapi kewajiban shalat Jumat dan shalat berjamaah yang mereka tunaikan di berbagai masjid lima kali sehari. Sementara itu, mayoritas negara-negara Islam telah sepakat menutup berbagai tempat pertemua publik, termasuk masjid, dengan persetujuan dari berbagai lembaga fatwa keagamaan. Namun tentu saja, keputusan ini telah membuat sekelompok orang yang masih tidak rela meninggalkan kegiatan salat di masjid.
Padahal buku-buku Fiqih dan sejarah Islam telah menukilkan berbagai fakta terkait dibatalkannya kewajiban salat berjamaah dan salat Jum’at karena berbagai sebab, termasuk akibat pandemi wabah. Pelarangan ini tidak mengenal pandang bulu sehingga ini juga berlaku utuk beribadah di masjdil haram, masjid nabawi bahkan masjid al-Aqsha!. Dalam artikel ini kita akan menyoroti berbagai peristiwa sekaligus analisa sebab-sebabnya tanpa harus terbawa ke dalam perdebatan fiqih.
Isolasi Mandiri
Pada tingkat individu, menurut kitab-kitab fikih, terdapat berbagai kondisi yang membolehkan seseorang menjauhi masjid untuk menjalankan salat berjamaah dan salat Jum’at. Syaratnya, ada ancaman bahaya yang mengancam dirinya atau diri orang lain, yang bersumber dari wabah penyakit menular, situasi keamanan, bencana alam dan lain-lain. Rincian semuanya itu telah diperluas dalam berbagai kitab fikih di berbagai madhabnya. Penjelasan tertua adalah muncul dari Imam Syafi’i yang menjelaskan berbagai alasan logis untuk tidak menjalankan salat Jum’at, karena berbagai sebab, terutama karena wabah penyakit menular. Bahkan yang menarik dari pendapat al-Syafi’i adalah kebolehan tidak menjalankan salat Jum’at karena takut ditangkap oleh regim berkuasa. Dalam kitab al-Umm disebutkan, “Jika sesorang takut ditangkap penguasa tanpa alasan yang jelas, maka boleh baginya untuk tidak menjalankan salat Jum’at”.
Yang lebih menarik lagi terkait kebolehan bagi orang yang berhutang untuk meninggalkan salat Jum’at karena tidak memiliki uang sedikitpun untuk membayarnya. Ia khawatir ditagih paksa yang jika tidak sanggup membayarknya maka ia akan dipenjara. Dalam kitab al-Umm beliau berkata: ”dan boleh tidak menunaikan salat Jum’at bagi kreditur yang tidak sanggup membayar hutangnya”. Sebaliknya para Fukaha juga membolehkan untuk tidak salat Jum’at bagi debitur yang khawatir jika sang krediturnya itu menghilang yang membuat kerugian baginya. Imam Badruddin al-Ainy (wafat tahun 855 H) dalam kitab “Umdah al-Qary Syarah Sahih al-Bukhari telah berkesimpulan berdasar salah satu haditsnya tentang bolehnya meningglkan salat berjamaah jika dikhawatirkan si debitur itu menghilang”.
Kebanykan para imam empat madzhab membolehkan isolasi diri karena takut ancaman akibat kegoncangan politik atau yang sejenisnya. Hal ini sebagaimana dinukil dari Imam Adz-Dzahaby dalam kitab “Siyar a’lam al-Nubala”, dari seorang imam tabiin yaitu Muthraf bin Abdullah al-Sukhaer yang mengatakan, “Jika terjadi kegentingan fitnah terbunuh, maka bolehlah ia berdiam diri di rumah, tidak usah salat berjamaah dan salat Jum’at di masjid sampai fitnah itu berlalu”. Boleh jadi alasan atau illat meninggalkan Jum’at dan salat berjamaah itu jika terdapat ketakutan terjadi kerusakan yang lebih besar. Pendapat serupa ditemukan dalam kejadian Imam Malik yang berdiam diri di rumahnya sampai ajal tiba, “Beliau berdiam-diri di rumah selama 18 tahun dan tidak pernah menginjak masjid Nabawi” sebagaimana dinukil al-Qurtubhy dalam kitab “at-Tadkirah”.
Hal serupa terjadi tatkala para ulama memprotes pemaksaaan doktrin bahwa al-Qur’an itu makhluk oleh khalifah Al-Ma’mun, sebagaimana disebutkan dalam kitab Kan al-Durur karya Ibn Aybak, “Permulaan terjadinya fitnah besar dan pemaksaan doktrin bahwa al-Qur’an itu makhluk adalah ketika siapapaun yang menolak doktrin itu, maka ia akan dibunuh. Maka akibatnya para ulama dan imam mengurung diri di rumah dan tidak menunaikan salat di masjid. Kendati demikian, kebanyakan dari mereka mati terbunuh”.
Pada intinya, tindakan seseorang atau sekelompok orang yang tidak menunaikan salat jum’at dan salat berjamaah tentu berbeda dengan kebijakan penutupan masjid untuk semua orang menunaikan salat Jumat dan salat berjamaah. Hanya saja penghentian ibadah berjamaah secara kolektif ini –walaupun para Fukaha hanya sebatas membahas isolasi individual-, maka itu semuanya telah terjadi dalam sejarah Islam dengan berbagai alasan genting, sebagaimana akan dijelaskan dalam artikel ini. (Zoom)