Dr.H. Engkos Kosasih, Lc., M.Ag

Oleh : Dr.H. Engkos Kosasih, Lc., M.Ag
(Ketua DPW PUI Jawa Barat)


Para Agresor dan Diktator

Penghentian salat Jum’at adzan jamaah pun bukan hanya dialami masjdil haram dan masjid nabawi saja, melainkna juga dialami oleh Masjid al-Aqsha yang menjadi langgganan pelecehan dan penghentian ritual di dalamnya. Ketika kaum Salib berkuasa, salat di masjid al-Aqsha dihentikan selama 90 tahun lamanya yang dimulai tahun 492 H. Mereka menakulkan Yerusalem dengan melakukan pembantaian massal. Ibn al-Atsir dalam al-Kamil menyebutkan bahwa Pasukan Salib membunuh kaum muslimin di al-Qasha lebih dari 70.000 orang, termasuk para imam, ulama dan para ahli ibadah lainnya yang sengaja meninggalkan tanah aiarnya demi beribadah di masjid suci ini.

Hal serupa terjadi menimpa masjid-masjid di Andalusia setelah pasukan kristen Spanyol menaklukan Andalusia pada awal abad ke 7 H. Sejarawan Andalusia, Abdullah bin Anna dalam kitab Daulatul islam fi al-Andalus menyebutkan bahw Spanyol tidak taat melakasanakan perjanjian tatkala penyerahan Cordoba terjadi untuk menghormati kebebasan beragama bagi kaum muslimin. Mereka justru menutup seluruh masjid, melarang kaum muslimin menjalankan ritual agama serta menodai keyakinan dan syariat mereka. Pada tahun 656 H, pasukan Mongol pimpinaun Hulagu Khan menaklukan Bagdad, kemudian Bangsa Tartar pimpinan Timur Lenk juga menaklukan Damaskus tahun 803 H. akibatnya, para pengkhotbah, para imam maupun para hafidz Qur’an itu semuanya dibunuh. Salat Jum’at dan salat berjamaah di Bagdad-pun dihentikan beberapa bulan lamanya. Imam al-Subky dalam kitab tabaqat al-Syafiiyyah juga menggambarkan kekejaman Khulagu tatkala menyerbu Bagdad,”Ia membunuh pimpinan umat islam, lalau semua umat islam. Salib pun diangkat, masjid-masjid dirusak sehingga negeri itu hancur berkeping-keping tak tersisa sedikitpun. Ditambhkan pula oleh Ibn Khaldun dalam kitab tarikhnya yang menyebutkan bahwa tatkala pimpunan Tartar bernama Mahmud Qazan itu menaklukan Damaskus pada tahun 699 H, ia pun melakukan pembunuhan dan perampokan di mana-mana. Mereka menyerbu masjid Bani Umayyah dengan melecehkan kehormatan masjid tanpa terkecuali. Mereka membunuh para qadhi dan para khatib. Salat berjamaah dan Jum’at pun dihentikan. Padahal Qazwan ini adalah berasal dari generasi Tartar yang masuk Islam!

Penaklukan Timur Lenk ke Damaskus juga tidak kalah sadisnya padahal ia mengaku masuk islam dan berdamai dengan penduduk Syam melalui tebusan perang yang dibayarkan para penduduk setempat agar mereka tidak dibunuh atau dirampok. Namun ia mengkhianati kesepakatan. Ia tetap merampok, membunuh dan membakar sebagian kota Damaskus. Syhawat dunia telah melupakan agama. Akibatanya semua ibadah di berbagai masjid berupa adzan dan iqamat pun dihentikan. Demikian dijelaskan al-Maqriy dalam kitabnya, al-Suluk li Ma’rifah Duwal al-Muluk”.

Ibn Khaldun sempat menyaksikan hari-hari kelabu tatkala mengunjungi Damaskus setelah dihancurkan Timur Lenk. Ia mneyebutkan kebiadaban Timur lenk dan pasukannya yang menyebabkan masjid Jami Umayah itu terbakar sehingga tidak bisa digunakan untuk salat. Dalam buku rihlahnya itu beliau menyebutkan tindakan Timur Lenk yang sengaja membakar berbagai properti sehingga apinya itu menerpa masjid Umayah yang agung. Atapnya pun terbakar lalu terlempar. Begitu pula dindingnya pun runtuh. Ini sungguh tindakan keji yang sangat bodoh. Hal senada diungkapkan Muibiruddin al-Maqdisy dalam kitab al-Tarikh al-Mukhtabar” bahwa salat Jumat tidak bisa dilaksanakan di masjid Umayyah kecuali hanya sekali saja, yaitu Jumat pertama tatkala Tartar menguasai Syam.

Hilangnya Keamanan Publik
Masjid tidak hanya terganggu karena perang saja, namun juga terganggu karena kerusuhan sosial yang tidak bisa diatasi oleh pemerintah. Ibn Syahin al-Malthy dalam bukunya Nailul Amal fi Dzail ad-Duwal menyatakan pada sebuah Jum’at di tahun 802 H, terjadi konflik antar pangeran dinasti Mamluk. “Kairo benar-benar genting dibuatnya. Pintu-pintu masjid ditutup, para khatib tidak bisa bebas berkhutbah, juga leluasa menjalankan shalat. Bahkan di beberapa masjdi tidak boleh digelar salat Jum’at, juga menunaikan salat di dalamnya. Orang-orang diliputi kecemasan yang mendalam sehingga pasar-pasarpun ditutup. 

Mesir juga akrab dengan kegentingan yang menyebabkan orang-orang meninggalkan salat Jum’at dan salat berjamaah di masjid. Sejarawan al-Khairany dalam kitab Ajaib al-Atsar bahwa pada tahun 1230 H, terjadi upaya kudeta yang gagal terhadap Gubernur Muhamad Ali Basya. Kudeta ini mengakibatkan kegoncangan publik. “Kudeta gagal ini belum dikenal di manapun yang berlangsung selama 5 jam lamnya, dari mulia sebelum Jumat sampat Asar. Orang-orang pun dibuat panik karena kahawatir atas harta dan nyawanya. Maka hari itu pula salat Jum’at dibatalkan karena masjid-masjid ditutp rapat. Orang-orang sibuk waspada dengan menyiapkan senjata pertahanan diri”.

Sejarawan Maroko, Abu Al-Abbas al-Nashiry dalam kitab al-istiqsha li akhbar Dual al-Magrib al-Aqsha” menyebutkan bahwa tatkala Sultan Abdul Malik bin Zaidan itu terbunuh, diangkatlah sadaranya yang bernama al-Walid bin Zaidan sebagai sultan. Akhiranya kegoncangan melanda kota Fas karena pelaksanaan salat Jumat dan Tarawih itu dihentikan di masjid al-Qurawain selama beberapa saat lamanya. Pada malam lailatul Qadar, tak ada seorang pun berani salat di dalamnya karena ketegangan yang memuncak pasca pembunuhan sultan tersebut. 

Ibn Adzary al-Marakasyi dalam kitab al-Bayan al-Maghrib menyebutkan bahwa tatkala dinasti Fatimiyyah berpindah ke Mesir, para penguasa lokal terus terbiasa menyebut nama-nama penguasa dinasti dalam semua khutbah Jum’at. Hal ini menyebabkan penduduk Quraiwan memboikot salat Jum’at agar terhindar dari mendoakan dinasti yang terkenal zalim itu dan dianggapnya juga perbuatan bid’ah. Kalau pun sebagaian jamaah ikut salat Jum’at, pasti berkata dengan berbisik-bisik, “Ya Allah, saksikanlah..Ya Allah saksikanlah”. Lalu ia pun pergi dan menunaikan salat duhur empat rakaat. Begitulah keadaan genting terjadi sampai-sampai taka ada seorang pun yang ikut menunaikan salat Jum’at. Salat Jum’at pun dihentikan dalam rentang waktu yang lama. Disebutkan bahwa khutbah yang menyebut-nyebut dinasti Fatimiyyah itu masih berlangsung sampai tahun 400 H setelah itu dihentikan dan bendera dinasti pun dibakar.

Kesimpulannya setelah menjelaskan rentetan sejarah dihentikannya salat Jum’at dan salat berjamaah di masjid, maka apa yang terjadi pada saat ini berupa penghentian serupa karena virus Covid 19 guna menghindari penularan, itu bukanlah perkecualian sejarah. Hal-hal serupa pernah terjadi karena berbagai sebab yang ada. Sebagian alasan itu sama dengan kita dari aspek alasan medis, sebagiannya lagi adalah dari aspek kemudaharatan yang ringan dan sebagiannya lagi memperhatikan kemdharatan yang lebih besar. Tentu saja suasana tidak ideal ini walaupun terjadi tentu ada ujungnya sebagaimana peperangan dan bencana itu berakhir. Semoga segera pulih sedia kala guna memakmurkan kembali rumah Allah dengan berbagai kegiatan ibadah. Wallahu a’lam bissawab. (Zoom)

Written by puijabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *