Menutup Tahun 2022, DPW PUI Jawa Barat Baksos di Cianjur
Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Ummat Islam Jawa Barat (DPW PUI Jabar) pada hari Sabtu tanggal…
Oleh: Syamsudin Kadir
Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat-Bidang Arsip dan Sejarah
Persatuan Ummat Islam (PUI) merupakan salah satu organisasi keagamaan berbasis massa Islam yang lahir pada 21 Desember 1917 yang bertepatan dengan 6 Rabi’ul Awal 1336 H. Embrio organisasi ini sebetulnya sudah ada sejak lama, tepatnya pada 1911, bahkan beberapa tahun sebelumnya. PUI didirikan oleh tiga tokoh besar yaitu KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi dan Mr. Syamsuddin. Ketiga tokoh ini berasal dari daerah yang berbeda. Bila KH. Abdul Halim berasal dari Majalengka, maka KH. Ahmad Sanusi dan Mr. R. Syamsuddin berasal dari Sukabumi. Semuanya di Jawa Barat.
Ketiga tokoh tersebut memiliki kepedulian yang tinggi terhadap nasib umat dan bangsa kala itu. Mereka turut berkontribusi untuk berjuang melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, ketertindasan, kebodohan, kemiskinan, dan politik perpecahan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mereka memiliki peranan penting dalam menyusun narasi besar lahirnya NKRI, sebab mereka terpilih dan dipercaya sebagai anggota BPUPKI.
Secara khusus tentang KH. Abdul Halim, nama lengkapnya adalah Abdul Halim bin Iskandar bin Abdullah Komar bin Nursalim. Beliau lahir pada 4 Syawal 1304 H/26 Juni 1887 M di Desa Jatiwangi, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka-Jawa Barat. Bapaknya adalah KH. Iskandar, ibunya Hj. Siti Muthmainah. Keduanya merupakan sosok yang taat beragama dan memiliki pergaulan yang luas di tengah masyarakat. Dan, tentu memiliki kemampuan mendidik yang luar biasa.
KH. Abdul Halim merupakan anak kedelapan dari delapan bersaudara, yaitu Iloh Mardiyah, Empon Kobtiyah, Empau Sodariyah, Junaedi, Iping Maesaroh, Hidayat, Siti Sadiyah, dan KH. Abdul Halim sendiri. Pada masa kecil beliau akrab dengan panggilan Otong Sjatori. Seperti anak kebanyakan pada masa itu, beliau akrab dengan teman-teman sebayanya. Baik yang keturunan pribumi maupun yang keturunan Cina dan Arab.
Secara khusus tentang KH. Abdul Halim, bila kita menelisik berbagai sumber, maka bisa dikatakan bahwa beliau bukan saja pejuang kemerdekaan, pendiri bangsa, pembentuk negara, ulama ternama, negarawan hebat dan pahlawan sejati, tapi juga sosok pejuang literasi yang handal. Beliau adalah jurnalis atau wartawan kawakan sekaligus penulis handal. Tidak salah bila sebagian masyarakat Indonesia era ini menyematkan “Bapak Literasi” untuk sosok yang akrab dengan berbagai kalangan, kitab dan buku ini.
Ya, KH. Abdul Halim adalah seorang penulis sekaligus jurnalis atau wartawan kenamaan. Hal ini tentu tak “ngasal” tapi sangat beralasan. Sebab beliau memang pernah memimpin untuk beberapa majalah terkenal pada zamannya. Beliau pernah menjadi pemimpin redaksi dan penanggungjawab penerbitan majalah resmi perhimpunan, Soara Perjarikatan Oelama (SPO) dan majalah As-Sjuro. Beliau juga kerap menulis berbagai artikel dalam beragam tema, yang pada zaman itu menjadi bacaan gurih dan menarik bagi banyak kalangan.
Atas tangan dingin dan kepiawaiannya dalam memimpin, majalah-majalah tersebut bukan hanya memuat berita-berita resmi, tetapi juga gerakan-gerakan pembaharuan di Timur Tengah dan pengetahuan-pengetahuan tentang kemajuan Barat. Pada masa pendudukan Jepang, beliau pun membantu penerbitan majalah Pelita, dan mengisi kolom Roeangan Hadis si majalah Soeara MIAI.
Selain menulis untuk majalah-majalah tersebut, KH. Abdul Halim juga menulis banyak buku. Buku yang beliau tulis adalah buku-buku dengan konten bergizi dengan tema yang juga bergizi. Buku-buku yang berhasil disusunnya sebanyak sembilan buku, yaitu 1) Dawat al-Amal; 2) Tarikh Islam; 3) Neraca Hidup; 4) Kitab Petunjuk Bagi Sekalian Manusia; 5) Risalat; 6) Ijtimaiyyat wa Ilabuha; 7) Kitab Tafsir Surat Tabarak; 8) Kitab 262 Hadis Indonesia; 9) Bab al-Rizq; 10) Tafsir Juz Amma; 11) Economie dan Cooperative Dalam Islam.
Bila membaca selintas peran dan kontribusi beliau pada dunia literasi, baik sebagai pemimpin majalah maupun sebagai penulis buku juga artikel, maka dapat dikatakan bahwa KH. Abdul Halim memang sosok yang multi tasking. Beliau adalah ulama dan pejuang yang memiliki semangat perjuangan yang sangat tinggi, termasuk dengan memanfaatkan tradisi literasi sebagai senjata. Ide dan pemikiran beliau dalam berbagai literatur dapat kita baca karena beliau sendiri memang akrab dengan dunia literasi dan memiliki karya tulis yang monumental.
Pada era ini, terutama pada era teknologi informasi yang semakin maju dan media sosial yang menjamur ini, memperkuat tradisi literasi sebagaimana yang dilakoni KH. Abdul Halim di zamannya adalah sebuah keniscayaan bagi generasi baru, terutama generasi muda PUI. Dengan tradisi ini, ide, pemikiran dan nilai-nilai perjuangan KH. Abdul Halim, PUI dan tokoh PUI semakin dikenal dan bisa diperdalam oleh berbagai kalangan.
PUI adalah Ormas pemersatu dan perekat persatuan antar umat juga antar elemen bangsa lainnya. Kemampuan menarasikan ide, pemikiran dan nilai-nilai perjuangan adalah kunci penting yang menambah daya tarik PUI bagi berbagai kalangan. Apalah lagi jumlah kaum milenial semakin banyak, hal ini menjadi peluang bagi PUI untuk melakukan penambahan jumlah kader atau amggota. Dan, salah satu media sekaligus tradisi yang bisa dikembangkan adalah tradisi menulis.
Bila KH. Abdul Halim sudah melakukan lompatan sejarah yang besar di masa lalu, sehingga saat ini kita bisa merasakan dan menikmati dampaknya, maka kini dan ke depan, kita memiliki tanggungjawab moral untuk melanjutkan lakon beliau tersebut dengan penyesuaian relevansi dan konteksnya. Ide, pemikiran dan nilai-nilai perjuangan KH. Abdul Halim dan tokoh pendiri lainnya mesti dipublikasi secara terus menerus, sehingga masyarakat luas semakin mengenal dan berupaya untuk mengadaptasikannya dalam kehidupan sosial dalam skala keumatan dan kebangsaan.
Diakui bahwa PUI adalah salah satu Ormas tertua dan memiliki jasa besar bagi umat dan pendirian negara kesatuan republik Indonesia. Lakon sejarah semacam itu akan menjadi inspirasi bagi banyak kalangan manakala PUI mampu mewartakan secara seksama dan sadar. Bila saja PUI, terutama generasi mudanya memiliki geliat pada tradisi menulis maka hal ini bukan saja ternilai sebagai upaya melanjutkan tradisi KH. Abdul Halim, tapi juga semakin mengokohkan semangat dan cita-cita PUI sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia di masa yang akan datang. (*)