Oleh: Syamsudin Kadir
Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat

SABTU, 18 September 2021, bertepatan dengan tanggal lahir seorang ulama sekaligus tokoh berpengaruh di Jawa Barat bahkan nasional asal Sukabumi, KH. Ahmad Sanusi (Kiai Ahmad Sanusi). Sosok yang dikenal dengan Ajengan Cantayan juga dikenal dengan Ajengan Genteng atau Ajengan Gunungpuyuh. Hal ini sangat wajar karena beliau lahir di Cantayan, Under Distrik Cikembar, Distrik Cibadak, Under Afdeling Sukabumi-Jawa Barat pada 18 September 1888 dan meninggal di Sukabumi pada 31 Juli 1950.

Mengenang dan menelisik Kiai Sanusi paling tidak saya mencatat beberapa hal penting, pertama, Kiai Sanusi adalah sosok pendidik sekaligus ulama yang cerdas. Hal ini bisa dipahami dari konsennya. Bayangkan saja, ia adalah tokoh Sarekat Islam dan pendiri Al-Ittahadiyatul Islamiyah (AII), sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan dan ekonomi. Pada awal Pemerintahan Jepang, AII dibubarkan dan secara diam-diam beliau mendirikan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Selain itu, ia juga pendiri Pondok Pesantren Syamsul Ulum, Gunung Puyuh, Sukabumi-Jawa Barat.

Di samping itu, sepak terjangnya pemimpin Al Ittihadiyatul Islamiyah (AII) dan dalam menginisiasi terbentuknya PUI yang tidak bisa dianggap sepele. Ya, kelak pada 5 April 1952 Kiai Sanusi menjadi salah satu dari inisiator Fusi Persatuan Ummat Islam (PUI). Selain Kiai Sanusi, pendiri sekaligus pencetus Fusi PUI adalah KH. Abdul Halim (Kiai Abdul Halim) dari Majalengka dan Mr. R. Syamsuddin dari Sukabumi. Kiai Sanusi juga tercatat sebagai salah seorang pemerakarsa berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

PUI sendiri ditandai dengan disahkannya perhimpunan Persjarikatan Oelama, pimpinan KH. Abdul Halim, oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan GouvernmentBesluit Nomor 43 Tahun 1917, tertanggal 21 Desember 1917 M / 6 Rabiul Awal 1336 H. Dalam Sidang Majelis Syuro, tanggal tersebut disepakati serta ditetapkan sebagai hari lahir PUI dan kemudian dicantumkan dalam Anggaran Dasar PUI Pasal 1 Ayat 2 yang disahkan pada tanggal 28 Desember 2019 M/ 1 Jumadil ula 1441 H.

PUI merupakan fusi dari dua perhimpunan besar yang didirikan oleh tokoh-tokoh tersebut, yakni Persjarikatan Oelama yang berubah nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI) pimpinan KH. Abdul Halim yang berkedudukan di Majalengka dan Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII) yang berubah nama menjadi Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) pimpinan KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi, pada tanggal 5 April 1952, dengan satu tujuan, yakni menggalang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta untuk mengurangi pertentangan dan perpecahan diantara Ummat Islam.

PUI terlahir dari kepedulian terhadap nasib bangsa oleh tiga tokohnya yakni KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, dan Mr. R. Syamsuddin, untuk berjuang melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, ketertindasan, kebodohan, kemiskinan, dan politik perpecahan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia serta memiliki peranan penting dalam menyusun narasi besar lahirnya NKRI sebagai anggota BPUPKI.

Kedua, Kiai Sanusi adalah tokoh sekaligus pemimpin yang berjiwa negarawan. Ketokohan dan kepemimpinannya sudah tak bisa diragukan lagi. Baik pada level umat maupun bangsa. Pada level dinamika pembentukan negara, Kiai Sanusi pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. Badan inilah kelak yang merumuskan berbagai hal yang dibutuhkan dalam membentuk negara. Bila kita menengok sejarah, kala itu, suasana rapat besar BPUPK yang berlangsung maraton dari 13 hingga 16 Juli 1945, sejak pagi hingga tengah malam, berlangsung alot dan panas.

Selaku Ketua Perancang UUD, kala itu Ir. Soekarno (Bung Karno) melaporkan hasil kerjanya kepada Rapat Besar BPUPKI berupa Rancangan Pernyataan Kemerdekaan yang juga merupakan cikal bakal Pembukaan UUD. Betapapun Bung Karno meyakinkan peserta Rapat Besar bahwa hasil kerja Panitia Sembilan yang dia pimpin merupakan kompromi terbaik antara golongan Islam dan Kebangsaan, pro dan kontra tetap tajam.

Di tengah suasana rapat yang makin panas dan menunjukkan tanda-tanda bakal berujung pada jalan buntu dan belum menemukan titik temu, Kiai Sanusi tampil bijak. Seraya menolak voting yang diusulkan Ketua BPUPK, Dr. RadjimanWedyoningrat. Kala itu, Kiai Sanusi meminta supaya (1) permusyawaratan berjalan tenang, (2) jangan mengambil keputusan dengan tergopoh-gopoh, dan (3) semua peserta rapat berlindung kepada Allah. Interupsi Kiai Sanusi pun berhasil menenangkan rapat besar, dan keesokan harinya, Rancangan Pembukaan UUD diterima dengan suara bulat.

Perihal hubungan agama dengan negara, Kiai Sanusi berpendapat bahwa keduanya merupakan dua badan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dalam pandangannya, usaha memajukan agama Islam berarti juga usaha memajukan bangsa dan negara. Agama dalam hal ini Islam sama sekali tidak merintangi negara sebagai sebuah medan amal sekaligus konsisus. Di sini sangat jelas betapa Kiai Sanusi menunjukan kecerdasan dan kemampuannya untuk membangun perspektif yang luwes di tengah keragaman pandangan para tokoh kala itu.

Di BPUPKI Kiai Sanusi mengusulkan “Jumhuriyah” (Republik) sebagai bentuk negara, dan pemimpin “Jumhuriyah” itu seorang “Imam” (pemimpin) yang dipilih. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Kiai Sanusi adalah salah satu tokoh yang menelurkan gagasan bentuk negara “Republik” yang hingga kini masih kokoh diakui sebagai bentuk negara kita. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa beliau layak disematkan sebagai Bapak Republik.

Sekadar mengenang, sebagaimana dikisahkan Pramoedya Ananta Toer dalam bagian akhir Tetralogi Buru, pelbagai organisasi pergerakan nasional segera dirumahkacakan, diawasi gerak-geriknya, dan para pentolannya ditangkap. Kiai Sanusi, sebagai anggota Sarekat Islam Priangan Barat, pun terkena efek rumah kaca ini.

Ya, pada masa penjajahan Belanda, antara 1927-1934 Kiai Sanusi menghabiskan usianya dari penjara ke penjara, karena ia difitnah dan dimusuhi oleh penjajah Belanda. Ia dipenjara di Sukabumi dan Cianjur, masing-masing selama selama enam dan tujuh bulan. Pada 1927, atas perintah Gubernur Jenderal A.C.D. deGraeff, ia dipindahkan ke Tanah Tinggi, Batavia. Sejak 1934 hingga runtuhnya kekuasaan Belanda, Kiai Sanusi berstatus sebagai tahanan kota. Artinya, Kiai Sanusi adalah sosok pejuang sekaligus petarung sejati yang memang menjadi incaran atau musuh penjajah yang layak dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional.

Ketiga, Kiai Sanusi adalah cendikiawan unggul, pemikir ulung dan penulis handal. Pemikiranya seputar bentuk negara berupa konsep “Jumhuriyah” (Republik) dan pemimpin “Jumhuriyah” adalah seorang “Imam” (pemimpin) yang dipilih merupakan contoh rilnya. Sehingga seperti yang saya ungkap sebelumnya, tidak bisa dipungkiri bahwa beliau layak disematkan sebagai Bapak Republik.

Kiai Sanusi juga sosok yang begitu giat dalam membangun tradisi literasi terutama tradisi menulis. Hal ini bisa dipahami dari karya tulisnya dalam beragam tema. Bayangkan saja, dalam pengasingan di Tanah Tinggi, Kiai Sanusi mengisi hari-harinya dengan menulis tentang ilmu-ilmu kegamaan seperti tafsir, fikih, dan tauhid. Ia bahkan membuat majalah Al-Bidayah al-Islamiyah yang terbit sebulan sekali. Konon Kiai Sanusi menulis ratusan buku dengam fokus pembahasan yang beragam. Kiai Sanusi pun menjadi bisa disematkan sebagai penulis atau penggiat literasi yang produktif, atau Bapak Literasi Indonesia. Bahkan, dapat disematkan sebagai Bapak sekaligus Penulis paling handal di lingkungan PUI dari dulu hingga saat ini.

Sekadar menyebut sebagian judul buku karya beliau yaitu, pertama, Bidang tafsir: Kanzurar-Rahmah wa Luth fi Tafsir Surah al-Kahfi, TajrijQulubal-Mumininfi Tafsir Surah Yasin, Kasyf as-Saadahfi Tafsir Surah Waqiah, Hidayah Qulub as Shibyan fiFadla’il Surah Tabarak al-Mulk min al-Quran, Kasyfadz-Dzunnunfi Tafsir Layamassuhuilaaal-Muthahharun, Tafsir Surah al-Falaq, Tafsir Surah an-Nas, Raudhlatul Irfan fiMarifat Al-Quran, Maljauat-Thalibin, Tamsyiyatul Muslimin fi Tafsir Kalam Rabbal-Alamin, dan Ushulal-Islam fi Tafsir Kalam al-Muluk al-Alam fi Tafsir Surah al-Fatihah. Kedua, Bidang fikih: Tahdziral-Awam fiMufiariyat Cahaya Islam, Al-Mufhamat fi DafIal-Khayalat, At-Tanbihal-Mahir fial-Mukhalith, Tarjamah Fiqh al-Akbar as-Syafii, Al-Jauhar al-Mardliyah fi Mukhtar al-Furu as-Syafiiyah, Nurul Yaqin fi Mahwi Madzhabal-Liaynwaal-Mutanabbiin waal-Mubtadiin, dan Tasyfifal-Auhamfiar-Raddanat-Thaqham.

Ketiga, Bidang tasawuf: Mathlaulal-Anwar fi Fadhilah al-Istighfar, Al-Tamsyiyahal-Islam fi Manaqibal-Aimmah, Fakhal-Albab fi Manaqib Quthub al-Aqthab, Siraj al-Adzkiyafi Tarjamahal-Azkiya, Al-Audiyah as-Syafiiyah fi Bayan Shalat al-Hajah waal-Istikharah, Siraj al-Afkar Dalil as-Sairin, dan Jauhar al-Bahiyahfi Adab al-Marahal-Mutazawwiyah. Keempat, Bidang kalam: Miftah al-Jannah fi Bayan ahl as-Sunnahwaal-Jamaah, Tauhid al-Muslimin wa Aqaidal-Muminin, Aluluan-Nadhid, Al-Mufid fi Bayan ilmal-Tauhid, Siraj al-Wahajfial-Isra waal-Miraj, Al-Uhudwaal-Hudud, Bahr al-Midad fi Tarjamah Ayyuhaal-Walad, Haliyatal-Aqlwaal-Fikrfi Bayan Muqtadiyatas-Syirkwaal-Fikr, Thariq as-Saadahfial-Farqal-Islamiyah, Majmaal-Fawaid fiQawaidal-Aqaid, dan Tanwir ad-DzalamfiFarqal-Islam.

Kiai Sanusi telah melakoni peran penting dan tugas sejarah yang sangat berharga bagi eksistensi dan keberlanjutan PUI juga negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Selain sebagai ulama pejuang, pendidik hebat, cendikiawan unggul, pemikir ulung dan penulis handal, Kiai Sanusi juga merupakan pemimpin umat dan negarawan sejati. Sehingga Kiai yang lahir pada 18 September 1888 (133 tahun) silam ini pun dapat disebut juga sebagai sosok ‘alim atau ulama yang negarawan. Dari sini, karena pemikiran, kontribusi dan jasa-jasanya, sangat wajar bila pendiri PUI asal Sukabumi ini disematkan sebagai Bapak Republik sekaligus Pahlawan Nasional. Semoga mereka yang berwenang terketuk hati dan langkahnya! (*)

Written by PUI Jabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *