Oleh: Egi Sopian. (Ketua Biro Dakwah DPW PUI Jawa Barat)
Jiwa besar adalah semangat untuk memaafkan sekaligus melupakan kesalahan yang sempat dilakukan orang lain terhadapnya to forgive and to forget. Dikatakan berjiwa besar karena seseorang bisa jadi memaafkan, namun tidak berangkat dari lubuk hati yang tulus sehingga tidak berkenan melupakan segala dendam kesumat, baik secara pribadi maupun kelompok. Maka, setiap kebulatan hati apabila tidak dibarengi dengan kesadaran hanya akan melahirkan sikap keras kepala dan membuahkan kegelisahan pelakunya.
Allah swt menunjukkan salah satu ciri orang yang cerdas secara ruhaniah adalah mereka yang mampu menghapus bekas luka hatinya sebagai bentuk kesalehan, kepeduliannya terhadap kemanusiaan untuk membangun kualitas moral yang lebih baik lagi. Sebagaimana dalam firman-Nya,
وأن تعفوا أقرب للتقوى ولا تنسوا الفضل بينكم إن الله بما تعملون بصير.
Artinya: “Pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah [2]: 237).
Hubungan baik, antara lain dicerminkan oleh kesediaan untuk saling memaafkan, menuturkan kebaikan, dan melupakan keburukan sehingga menjadi pahala semuanya. Hal ini benar-benar membuktikan jiwa yang sudah teruji dan terlatih dengan takwa.
Ketika Rasulullah SAW dihina, dicemooh dengan kata-kata kotor dan dilempari batu hingga terluka bercucuran darah oleh penduduk Thaif. Pada saat itu, Malaikat Jibril mendatanginya dan menawarkan bantuan untuk membalaskan kepedihan hatinya seraya berkata: “Apakah engkau mau aku timpakan dua gunung kepada mereka? “. Tapi, Rasulullah SAW tidak menghendakinya dan dijawab tawaran tersebut dengan do’a, “Ya Allah, ampunilah mereka, karena sesungguhnya mereka itu kaum yang tidak mengerti”.
Inilah leadership by example/ kepemimpinan dengan keteladanan yang menunjukkan kearifan, optimisme yang luar biasa dan menampakkan jiwa besar Rasulullah SAW. Keagungan akhlaknya menggaung ke seantero jagad dan diabadikan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam [68]: 4).
Manshur bin Muhammad Al-Kuraizi berkata: “Aku akan paksakan sifat pemaaf pada diriku untuk orang-orang yang berbuat keburukan mereka kepadaku. Karena manusia itu tidak lebih lebih dari tiga golongan (yaitu) orang yang mulia, orang yang tidak mulia, dan orang yang seimbang dengan kita. Adapun orang yang lebih dariku, maka aku mau mengakui keutamaan dia dan aku mengikuti kebenaran padanya. Karena kebenaran itu harus diikuti. Kalau ternyata orang itu lebih rendah kemuliaannya dariku dan ternyata dia berbuat buruk kepadaku, maka aku sudah melindungi diriku dengan cara aku untuk tidak menjawab dia. Kalau ternyata dia seimbang denganku lalu terpeleset di dalam kesalahan, maka aku sudah berbuat kebaikan. Karena sifat halim/ penyantun merupakan sifat yang lebih baik bagi orang yang bijak”.
Dengan demikian, berjiwa besar merupakan orang yang menyikapi sesuatu untuk satu kepentingan besar, kemaslahatan Islam dan muslimin, bukan jiwa kerdil yang senang jika dipuji dan marah jika dikritik, begitu pula tidak lagi menghargai kebersamaan yang pernah dijalin waktu silam. Satu keburukan di mata manusia bisa menghapus semua kebaikan, tetapi satu kebaikan di mata Allah bisa menghapus semua keburukan.
Allah swt berfirman: “Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan. Tolaklah (keburukan itu) dengan cara yang lebih baik, maka orang-orang yang antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang amat setia” (QS. Fushshilat [41]: 34).
“Ya Allah, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku, agar mereka mengerti perkataanku” aaminn. (Zoom)