PUI Jabar Gelar Silaturahmi di Sukabumi
PUIJABAR.ORG -- PW PUI Jabar menyelenggarakan Silaturahim Idul Fitri 1434 se-Jawa Barat, Sabtu 14 September 2013,…
Oleh: H. Iman Budiman, .S.Th.I, M.Ag.
(Ketua Umum DPW PUI Jawa Barat 2021-2026)
Dalam Islam, pengajar atau pendidik memiliki padanan kata dengan sebutan: Mu’alim, Mudaris, Murobbi, Mu’adib. Walaupun memiliki arti yang sedikit berbeda, namun secara umum makna semuanya sama yaitu orang yang menjalankan tugas mengajar, mendidik, mengarahkan, dan membina. Dalam dinamika dunia pendidikan modern kita sebut dengan Guru atau Dosen (Akademisi). Atau bisa juga disebut dengan Ustadz/Ustadzah.
Menjadi pengajar atau pendidik adalah sebuah keniscayaan setiap umat manusia. Sebab manusia secara fitrah memiliki potensi yang bersifat given (pemberian) untuk mencari tahu, mengetahui dan mempertanyakan sesuatu serta menyampaikan sesuatu. Manusia pun punya potensi untuk belajar, menjadi pembelajar, dan menjadi pengajar atau pendidik. Terutama sebagai seorang muslim, sudah sejak penciptaan memiliki fitrah kebaikan sebagai modal seorang pendidik.
Bahkan Allah sendiri yang mencontohkan kepada manusia untuk menjadi pengajar atau pendidik sejati. Pengajar atau pendidik yang selain mengajarkan ilmunya, juga menanamkan keyakinan. Hal ini bisa dilihat dari kisah Adam yang mendapatkan pengajaran langsung dari Allah seputar nama segala sesuatu.
Allah berfirman, “Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (QS. Al-Baqarah: 31)
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa tradisi mengajar atau mendidik adalah tradisi ilahiyah (Ketuhanan). Bahkan tradisi mengajar atau mendidik juga merupakan tradisi sekaligus warisan nubuwah (Kenabian). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pengajar atau pendidik yang mendapatkan mandat untuk (1) membacakan ayat-ayat Allah, (2) mengajarkan kitab dan hikmah, serta (3) menyucikan umat manusia berdasarkan perintah Allah kepadanya. Tiga tradisi itu bisa juga disebut sebagai tradisi profetik (tradisi kenabian).
Bila tradisi profetik (tradisi mengajar atau mendidik) merupakan tradisi warisan Tuhan (Allah) dan Nabi maka sangat patut bergembiralah bila kita mendapatkan takdir sebagai pengajar atau pendidik. Pendidik bisa saja sebagai Guru, atau pada level perguruan tinggi kita sebut dengan Dosen (Akademisi). Sebab peran pengajar atau pendidik merupakan tradisi warisan Allah dan Nabi shallahu ‘alahi wasallam. Itu bermakna, kita mendapatkan takdir sekaligus anugerah yang sangat mulia.
Allah berfirman, “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah. Akan tetapi (dia berkata): Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali ‘Imran: 79)
Pada surat lain Alah berfirman, “Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al- Quran) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah: 129)
Dari beberapa ayat di atas dapat diambil poin bahwa diantara tugas pokok pengajar atau pendidik adalah sebagai berikut: Pertama, narator sekaligus juru bicara kebenaran. Pengajar atau pendidik adalah narator sekaligus juru bicara kebenaran. Pengajar atau pendidik merupakan pewaris lakon kenabian yang memiliki misi mulia dan agung. Karena itu, mereka atau para pengajar atau pendidik mesti memiliki modal dasar sebagaimana modal dasar yang dimiliki nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu keimanan.
Dengan demikian, kunci sekaligus modal penting narator sekaligus juru bicara kebenaran adalah keimanan. Sebab seluruh tugas dan tanggung jawab pengajar atau pendidik akan berpijak dan berujung pada penghambaan. Substansi penghambaan yang paling hakiki adalah terjaganya keimanan dalam diri. Pada saat yang sama dijauhkan dari mental dan sikap syirik. Termasuk riya’, keangkuhan, kesombongan dan sebagainya.
Kedua, membacakan dan mengajarkan ilmu dan kebenaran. Pengajar atau pendidik juga bertugas untuk membacakan dan mengajarkan ilmu dan kebenaran. Karena yang disampaikan adalah ilmu sekaligus kebenaran ilmu, maka sumber ilmunya pun mesti bersumber dari ilmu yang benar dan disampaikan dengan cara yang benar. Di sini pengajar atau pendidik mesti memahami etika berilmu. Adab dalam menyampaikan ilmu dan kebenaran ilmu juga mesti dijaga. Bahkan dalam perspektif Islam, mendalami etika atau adab berilmu jauh lebih penting dari mendalami ilmu itu sendiri.
Ketiga, menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual. Pengajar atau pendidik juga bertugas menanamkan nilai-nilai kebenaran, moral dan spiritual. Pengajar atau pendidik tidak cukup menyampaikan dan mengajarkan ilmu semata. Mereka juga mesti memastikan ilmu yang diajarkan sampai pada peserta didik. Bukan sekadar itu, tapi juga memastikan peserta didik paham dengan ilmu yang disampaikan dan menjadikannya sebagai modal hidup.
Suksesnya pengajar atau pendidik tidak saja menjadikan peserta didik bisa mencerna dan menghafal ilmu tertentu, tapi juga berdampak pada kualitas moral dan spiritual. Dengan demikian, pengajar atau pendidik tidak cukup membiarkan peserta didiknya berhenti pada penguasaan ilmu pengetahuan tertetu, tapi juga mengarahkan dan membimbing mereka agar menjadikan ilmunya sebagai lampu penerang dalam melakoni kehidupan, baik dalam skala individu maupun dalam skala sosial.
Dengan demikian, ilmunya berorientasi pada amal dan amalnya berorientasi pada ilmu. Sesuai dengan sebuah ungkapan mashur, “ilmunya amaliyah, amalnya ilmiyah”. Sederhananya, ilmunya terlaksana atau implementatif, amalnya ilmiyah atau berbasis pada ilmu yang dikaji dan dipahami dengan benar.
Bila proses tersebut berjalan dengan baik maka ilmu yang disampaikan bermanfaat dan peserta didik pun mampu mengembangkan dan menyebarluaskannya, sehingga ilmu benar-benar dan semakin bermanfaat bagi kehidupan diri juga lingkungan sekitar atau kehidupan sosial: umat, bangsa dan negara. (*)