Tb Hadi SutiksnaHampir setiap awal Ramadhan terjadi perbedaan di antara umat Islam. Pada ketinggian hilal tertentulah yang disebabkan oleh sudut pandang, maka terjadilah perbedaan.

Demikian dikemukakan Tb. Hadi Sutiksna, anggota Dewan Pertimbangan PW PUI Jabar. “Intinya begini, ‘kan metode penetapan awal Ramadhan itu ada beberapa sebut saja madzhab, seperti madzhab wujudul hilal dan ijtima’. Semuanya ada peluang untuk benar. Cuma masalahnya, ketika mereka melakukan hisab, pemerintah menentukan kriteria, hilal minimal 2 derajat, sedangkan Muhammadiyah misalnya, tidak menentukan berapa derajat, yang penting ada hilal. Itu sebenarnya yang menyebabkan perbedaan,” jelasnya.

Sebagai praktisi, lanjut Tb. Hadi, dirinya sudah kita buktikan dalam pelatihan hisab-ru’yah di PW PUI Jabar. “Saya sajikan beberapa metode, termasuk aritmatika dan observasi, Ramadhan jatuh tanggal 9 Juli,” katanya. “Namun, karena ketinggiannya di bawah 2 derajat, pemerintah kemungkinan besar akan menggenapkan Sya’ban menjadi 30 hari, sehingga Ramadhan 10 Juli.”

Ia menjelaskan, yang hisab ataupun versi pemerintah, dua-duanya punya tingkat kemungkinan benar. Dua-duanya wilayah ijtihad yang tidak bisa saling menggugurkan.

“Saya lihat PUI cenderung ikut sultah, pimpinan, yaitu pemerintah. Saya tidak menganjurkan harus yang mana karena dua-duanya berpeluang benar. Yang perlu disampaikan adalah memberikan tingkat keyakinan sehingga jamaah punya ketetapan hati. Saya tidak bisa mengimbau harus memilih tanggal 9 atau 10. Yang jelas dua-duanya berpotensi benar. Sekali lagi, perbedaan pokok adalah masalah sudut pandang, yaitu apakah menetapkan kriteria hilal di atas dua derajat atau di bawah dua derajat,” pungkasnya. (mel/intisabi/puijabar.org).*

Written by puijabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *