Oleh: Dr. H. Irfan Syauqi Beik

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

*Ketua Dewan Pakar Pusat Persatuan Ummat Islam

Program zakat produktif dan wakaf produktif pada dasarnya merupakan upaya sistematis untuk meningkatkan nilai manfaat ekonomi dari zakat dan wakaf. Pada zakat produktif, manfaat ekonomi ini seluruhnya akan dirasakan oleh para mustahik penerima manfaat program produktif, sehingga mereka memiliki kesempatan dan kemampuan untuk memiliki sumber penghasilan berkelanjutan, yang jika dikembangkan terus, berpotensi membuat mereka bertransformasi menjadi muzakki.

Adapun peran institusi amil zakat lebih kepada fasilitator dan akselerator program. Manfaat ekonomi yang dirasakan amil bersifat tidak langsung, karena amil telah mendapatkan haknya secara langsung dari zakat yang terkumpul sebesar seperdelapan. Manfaat tidak langsung ini artinya, dengan sebab program zakat produktif, maka perekonomian bisa ditingkatkan sehingga pengumpulan zakat juga berpotensi meningkat.

Sementara pada wakaf produktif, manfaat ekonomi ini akan dirasakan secara langsung oleh nazhir (pengelola aset wakaf) dan mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf). Meski demikian, ada batasan manfaat yang diterima nazhir menurut aturan hukum di negara kita, yaitu maksimal sepuluh persen saja, sementara sisanya dapat dinikmati mauquf ‘alaih melalui berbagai program penyaluran, termasuk untuk keperluan pencadangan dan investasi.

Yang membedakan antara zakat produktif dengan wakaf produktif adalah pada fokus utamanya. Pada zakat produktif, fokus utamanya adalah pada mustahik. Artinya, yang memproduktifkan dan mengembangkan dana zakat tersebut adalah mustahiknya secara langsung. Peran amil adalah sebagai fasilitator yang melakukan pendampingan dan penguatan pada mustahik, baik pada aspek skil produksinya, kemampuan pemasarannya, kemampuan pengelolaan dana dan investasinya, hingga aspek spiritualitasnya.

Sementara pada wakaf produktif, fokus utamanya adalah pada asetnya atau harta wakafnya, dimana peran nazhir sangat sentral dalam mengembangkan harta wakaf yang dikelolanya. Jangan sampai nilai pokok harta wakafnya berkurang. Hasil dari pengembangan inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai hak nazhir dan hak mauquf alaih.

Tipologi zakat produktif

Secara umum, ada tiga tipologi yang berkembang dalam program zakat produktif, yaitu program produktif tradisional, program produktif berbasis pemberdayaan, dan program produktif berbasis pemberdayaan lanjutan. Pada tipologi pertama, yang dilakukan oleh amil adalah menyalurkan dana zakat untuk program ekonomi kepada mustahik, namun tanpa ada pendampingan amil. Kalaupun ada pendampingan, sifatnya sangat terbatas. Pada tipologi ini juga belum ada alat ukur yang digunakan untuk menilai proses dan dampak dari zakat yang disalurkan. Kalaupun tersedia datanya, hanya data terkait pendapatan mustahik setelah menerima zakat tersebut. Dengan kata lain, amil hanya memberikan bantuan ekonomi saja, sementara proses selanjutnya diserahkan sepenuhnya pada mustahik.

Sementara pada tipologi kedua, program zakat produktif didesain untuk memberdayakan masyarakat sasaran (mustahik) dengan pendekatan program yang lebih sistematis dan dengan pendampingan yang lebih terarah. Tenaga pendamping programnya pun adalah tenaga terampil yang dedicated dalam menjalankan tugasnya. Namun demikian, pada tipologi ini, belum ada alat ukur yang digunakan untuk menilai dampak dari program yang dilakukan. Misalnya, berapa persen kemiskinan mustahik bisa dikurangi, berapa persen tingkat kedalaman dan keparahan mustahik bisa direduksi, berapa persen kenaikan kesejahteraan material dan spiritual mustahik, dan lain-lain.

Adapun tipologi ketiga pada dasarnya merupakan tipologi kedua yang ditambah dengan ketersediaan alat ukur untuk menilai dampak dari program yang dilakukan. Keberadaan alat ukur ini menjadi instrumen untuk memverifikasi apakah program zakat produktif ini telah mampu mencapai sasaran yang diharapkan atau tidak. Alat ukur ini mengkombinasikan pendekatan yang sifatnya kualitatif dengan kuantitatif. Sebelum tahun 2016, alat ukur untuk menilai kinerja penyaluran zakat ini lebih didominasi oleh alat ukur yang bersumber dari ilmu ekonomi konvensional, khususnya mazhab Development Economics, seperti penggunaan indeks kemiskinan dan kesenjangan yang ada. Setelah 2016, dikembangkan sejumlah alat ukur yang kemudian dijadikan sebagai alat resmi pengukuran dampak zakat, yaitu antara lain Indeks Kesejahteraan BAZNAS yang terdiri atas Indeks Kesejahteraan CIBEST, modifikasi IPM, dan Indeks Kemandirian.

Tipologi wakaf produktif

Terkait wakaf produktif, maka sesungguhnya wakaf sejak hari pertama disyariatkan pada dasarnya telah bersifat produktif. Kisah tanah Khaibar Umar bin Khattab ra dan kisah sumur ruma Utsman bin Affan ra yang dikombinasikan dengan wakaf perkebunan kurma, pada dasarnya merupakan contoh wakaf produktif. Namun dalam konteks Indonesia, terdapat distorsi pemahaman wakaf sehingga seolah-olah wakaf produktif ini adalah terminologi baru dalam pengelolaan wakaf.

Terkait tipologi wakaf produktif ini, penulis membaginya menjadi dua tipologi saja, yaitu program produktif tradisional dan program produktif lanjutan. Pada tipologi pertama, harta wakaf diproduktifkan secara ekonomi melalui berbagai mekanisme dan pendekatan, baik pendekatan bisnis murni, kombinasi bisnis murni dan sosial, maupun kombinasi dengan produk keuangan syariah komersial. Namun demikian, pada tipologi ini belum ada sistim database dan alat ukur untuk menilai kinerja pengelolaan aset wakaf secara produktif. Data yang tersedia hanya data keuntungan usaha dan indikator keuangan lainnya. Sementara dampak program terhadap perekonomian secara umum, maupun terhadap mauquf ‘alaih secara khusus tidak tersedia. Misalnya, bagaimana dampak program wakaf produktif terhadap pembukaan lapangan kerja dan bagaimana dampak program terhadap peningkatan kesejahteraan mauquf ‘alaih, keduanya belum terekam dengan baik dalam laporan nazhir.

Adapun tipologi kedua, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari tipologi pertama, namun lebih inovatif, adaptif terhadap perubahan, technology savy, dan yang terpenting, memiliki sejumlah alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai kinerja dan dampak dari program wakaf produktif yang dilakukan. Saat ini, BWI telah meluncurkan Indeks Wakaf Nasional yang diharapkan dapat menjadi alat ukur kinerja yang dimaksud, karena di dalamnya juga terdapat dimensi outcome dan impact, yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk menilai sejauh mana dampak dari keberadaan program wakaf produktif. Wallaahu a’lam.

Written by PUI Jabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *