Oleh: Dr. H. Wido Supraha Wakil Ketua DPP PUI (Persatuan Umat Islam)
Membaca adalah anjuran atau perintah pertama yang diturunkan Allah Swt sebagai bagian dari wahyu yang suci nan mulia. Kata seru ‘bacalah’ diulang 3 (tiga) kali dalam Al-Qur’an.[1] Sementara kata wahyu sebagai kata dasar hanya digunakan 1 (satu) kali dalam Al-Qur’an[2], namun terdapat 78 kata yang menggunakan kata dasar wahyu dalam Al-Qur’an, 6 kata adalah kata benda, dan 72 kata adalah kata kerja. Dalam wahyu yang pertama kali turun itu pun mengandung inspirasi bahwa menuntut ilmu hendaknya sarat dengan aktifitas membaca dan menulis, sebagaimana ilmu diikat dengan tulisan.
Wahyu secara bahasa berarti memberitahukan secara samar; tulisan; tertulis; utusan; ilham; perintah; dan syarat. Secara terminologi syariat, wahyu berarti memberitahukan hukum-hukum syariat, atau juga bisa bermakna sebagai sesuatu yang diwahyukan, yakni kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Cara Allah menurunkan wahyu kepada para Nabi adalah sama yakni dengan cara mimpi sehingga hati menjadi tenang, setelahnya baru Allah menurunkan wahyu dalam keadaan sadar.[3]
4_163
Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (Q.S. An-Nisa/4:163)
Maka demikian pula dengan Nabi Muhammad Saw dalam hal penerimaan wahyu juga dengan cara yang sama telah dialami oleh para Nabi sebelumnya. Nabi Saw telah dikondisikan pertama kali melalui mimpi yang benar sebagai bagian dari latihan sebelum menerimanya secara sadar. Maka tidak heran jika setelahnya Nabi Saw dapat melihat cahaya, mendengar suara, dan batu-batu kerikil yang memberikan salam kepadanya. Pada mimpi ini, Nabi Saw pertama kali melihat sosok Malaikat Jibril. Adapun secara sadar, sebagaimana pengakuan Nabi Saw., wujud asli Malaikat Jibril terlihat langsung sebanyak 2 (dua) kali yakni ketika di Ajyad dan kemudian ketika peristiwa Isra’ Mi’raj. Namun terdapat juga penjelasan bahwa ketika turunnya wahyu di Gua Hira’, Malaikat Jibril juga menampakkan wujud aslinya.
iqra2
Perintah Jibril kepada Nabi Muhammad Saw, ‘Iqra’, dijawab dengan “Ma Ana bi Qari” dan hal ini berlangsung hingga 3 (tiga) kali perulangan. Berulangnya pernyataan Nabi bahwa dirinya tidak bisa membaca, mengandung maksud seakan-akan Nabi Saw memang tidak bisa membaca sama sekali. Namun, hal ini dapat juga dijelaskan bahwa jawaban pertama Nabi mengadung makna penolakan (imtina’), jawaban kedua Nabi mengandung makna ketidakmampuan, sedangkan jawaban ketiga nabi mengandung makna pertanyaan akan apa yang harus dibaca.[4] Pertanyaan tentang ‘kaifa aqra‘, dan ‘madza aqra‘, adalah bagian dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin hadir[5], sehingga kemudian Jibril mengajarkan bahwa bersama pertolongan Allah (bismi rabbika) yang telah menciptakan akan memudahkan dalam membaca, sesuatu yang akan sulit jika hanya disandarkan pada pengetahuan manusia. Namun di atas itu semua, peristiwa ini memperlihatkan adanya kebenaran yang bersumber dari faktor luar (haqiqah kharijiyyah).

Maka sedemikian bersemangatnya Nabi Saw dalam menerima wahyu, membuatnya selalu tidak sabar untuk dapat menghafalkannya, meskipun itu terasa sukar baginya. Semangat Nabi yang totalitas untuk perbaikan umat (harakatul inqaz), melahirkan tanggung jawab kenabian (mas-uliyah an-nubuwwah), terlihat dari begitu tergesa-gesanya beliau untuk melahap seluruh ilmu yang disampaikan dalam bentuk wahyu.[6] Maka turunlah firman Allah, Swt,

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. (Q.S. Al-Qiyamah/75:16)

Namun Allah mengajarkan, bahwa sebaik-baik pengajaran adalah talaqqi, dimana yang dididik hendaknya mendengarkan secara seksama baru mengikutinya.
75_18

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Q.S. Al-Qiyamah/75:18)

irra__a_by_samania-d3hnyhi
Setelah turunnya wahyu pertama ini, maka tidaklah turun ayat Al-Qur’an kecuali setelah masa penantian selama 6 bulan[7] atau 3 tahun[8] yang terasa sangat lama dan berat bagi Nabi Muhammad Saw., hingga jika beliau berada pada puncak kesedihannya, beliau akan naik ke atas gunung bahkan berniat untuk menjatuhkan diri, namun kehadiran Jibril kembali menguatkan dirinya, bahwa beliau memang benar-benar telah dijadikan utusan Allah[9]. Masa penantian itu berakhir setelah peristiwa melihatnya Nabi Muhammad Saw akan sosok Jibril yang sedang duduk di atas kursi yang melayang di langit dalam wujud aslinya di kota Ajyad. Peristiwa ini yang mendorong turunnya firman Allah dalam Surat Al-Muddatstsir[10]. Menarik melihat bagaimana kebiasaan Nabi Saw tatkala diuji dengan ketakutan karena hal ghaib yang tidak biasa, seperti dalam peristiwa menampakkan dirinya Jibril di Gua Hira’ dan di Ajyad ini, beliau akan meminta istri tercintanya untuk menyelimuti tubuhnya. Lebih menarik lagi ketika istrinya nan-shalihah sentiasa menguatkan keyakinan dirinya akan pertolongan bagi orang-orang yang sentiasa berbuat kebajikan dalam menolong orang lain.

Maka setelah turunnya Surat Al-Muddatstsir tersebut, mulailah wahyu turun dengan semakin sering. Terkadang wahyu itu datang seperti bunyi lonceng (shalshalah al-jaras), dan ini merupakan cara yang paling berat bagi manusia seperti Nabi Muhammad Saw. Namun terkadang datang malaikat menjelma seperti laki-laki yang menyampaikan wahyu kepadanya. Gambaran begitu beratnya Wahyu yang turun, diumpamakan oleh ‘Aisyah r.a. kejadian turunnya wahyu di saat musim dingin yang amat sangat, namun dahi Nabi Saw terlihat bersimbah peluh pertanda begitu berat yang dialaminya.
iqra3
Setiap kali wahyu turun, Nabi Saw memerintahkan sahabatnya untuk mencatatnya dengan segera. Setiap kali sahabat bertanya tentang beberapa masalah, Nabi Saw harus menunggu beberapa masa hingga turun ayat yang menjawab permasalahan tersebut. Permasalahan-permasalahan masa lalu yang tentu mustahil diketahui bagi seorang Nabi yang ummi, terlebih hal-hal yang baru diketahui di masa depan, menjadi jawaban utama keaslian Wahyu yang diterima Nabi Saw. Keraguan akan sosok pembawanya telah terjawab dengan kebersamaan hidup bersamanya selama 40 tahun.

Tuduhan segelintir orientalis bahwa wahyu hanyalah intuisi Nabi Saw dalam khalwatnya seorang diri sebenarnya terbantahkan dengan rangkaian peristiwa yang dialami Nabi Saw. Pertama, bahwa untuk menumbuhkan inspirasi tidaklah perlu menjalani proses khalwat. Kedua, tidak terlihatnya Jibril oleh para sahabat lain, bukan berarti Jibril itu tiada. Ketiga, kondisi emosi Nabi dalam ketakutannya akan makhluk jin menjadi jawaban bahwa risalah bukanlah hal yang dicarinya, atau kekhawatirannya akan murka Allah atas tidak turunnya wahyu selama beberapa lama tentu bukanlah hal yang dibuat-buat, atau menggigilnya sekujur tubuh menjadi jawaban bahwa peristiwan yang dialaminya merupakan hal yang tidak biasa, dan bahkan tidak pernah terlintas dalam benaknya sama sekali.[11]
Dalam peristiwa ini, Khadijah mendapatkan ilham untuk membawa suaminya kepada anak pamannya yang sudah tua dan buta, Waraqah bin Naufal, seorang ahli ilmu Kristen. Pengetahuan Waraqah yang luas dari hasil menuntut ilmunya kepada para Ahli Kitab membawanya kepada keimanan akan kebenaran Nabi Muhammad Saw selaku manusia yang diutus Allah Swt. Namun perlu diketahui, bahwa Waraqah adalah satu dari empat orang yang menyadari akan kesalahan dalam ajaran yang diyakini orang-orang Quraisy, dan membawa mereka kepada pengembaraan ilmu. Ketiga lainnya adalah Ubaidillah bin Jahsy, Ustman bin al-Huwairits, dan Zaid bin Amr bin Nufail. Ubaidillah bin Jahsy diketahui kemudian masuk Islam dan ikut hijran ke Habasyah bersama istrinya, Ummu Habibah, namun kemudian murtad dan masuk agama Kristen di Habasyah. Utsman bin al-Huwairits masuk agama Kristen setelah bertemu Kaisar Romawi, dan mendapat kedudukan terhormat. Adapun Zaid bin Ammar tidak memeluk Yahudi maupun Nasrani, namun ia menjaga diri dari beragam perbuatan tercela, karena ia mengikrarkan untuk menyembah Tuhannya Nabi Ibrahim a.s. Zaid terus berkelana mencari agama Ibrahim yang benar, hingga menyelurusi Kota Syam, namun ia mendapatkan jawaban bahwa Nabi itu telah bangkit dari Kota Makkah. Ketetapan Allah mendahului, dimana ia terbunuh di pertengahan negeri Lakhm. Ini yang membuat Waraqah bersedih.
Keyakinan para ahli Kristen yang jujur muncul di antaranya karena sifat Nabi Muhammad Saw telah ada dalam kitab suci mereka yakni Al-Munhammana, sebagaimana sabda Nabi ‘Isa. Dalam bahasa Ibrahin, al-Munhamana berarti Muhammad, dan Muhammad dalam bahasa Romawi ialah Paraclet.[12] (Zoom)
1] Q.S. Al-Isra’/17:14; Q.S. Al-‘Alaq/96: 1,3
2] Q.S. An-Najm/53:4
3] Lihat Fathul Bari, Bab Permulaan Turunnya Wahyu
4] Kutipan pendapat Ath-Thibi oleh Ibn Hajar al-Atsqalani
5] Kutipan pendapat Abu Aswan dan Zuhri oleh Ibn Hajar al-Atsqalani
6] H.R. Bukhari No. 5
7] Riwayat Sya’bi dalam kitab sejarah buah karya Imam Ahmad bin Hanbal, dan dikuatkan oleh pendapat Ibn Ishq
8] Riwayat dari Ibn Ishaq
9] Lihat Tafsir Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir (Ibn Katsir)
10] H.R. Bukhari No. 4
11] Analisa Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh as-Sirah: Dirasat Minhajiah ‘Ilmiah li-Shirat al-Musthafa ‘alaihishshalatu wa salam
12] Sirah Ibn Hisyam

Written by puijabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *