Wakil Ketua Umum PUI: RUU HIP juga memuat pemikiran Sekularisme Barat
Rabu, 17 Juni 2020 pukul 13.30 WIB bertempat di Kantor Kemenko Polhukam RI, sejumlah ormas Islam diundang untuk berdialog dan menyatakan pendapatnya seputar Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP) yang penuh kontroversi. Hadir dari Majelis Ulama Indonesia Pusat, Wasekjen MUI, Dr. Najamuddin Ramli. “Kami, atas nama pimpinan MUI mengapresiasi Prof Mahfud Md sebagai Menko Polhukam yang sensitif dan cepat merespons aspirasi masyarakat, sehingga kemarin setelah bertemu bapak Presiden beliau mengumumkan bahwa pemerintah menunda pembahasan RUU HIP,” kata Najamuddin Ramli sebagaimana dalam keterangan tertulis dari Kemenko Polhukam, Rabu (17/6).

Sejalan dengan MUI, Persatuan Gereja Indonesia (PGI) melalui Ketuanya yang baru terlantik, Pendeta Gomar Gultom juga menyebutkan bahwa langkah pemerintah sudah sangat baik yang selain menunda juga mendorong DPR untuk mengkaji lebih jauh RUU HIP.

Perwakilan Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Sugianto, menyebutkan bahwa Pancasila adalah ideologi yang mempertemukan semua agama. Beliau menegaskan: “Pancasila adalah titik temu dari semua agama. Kami umat Buddha merasa sangat perlu dengan Pancasila ini. Karena itu, kami akan menolak semua yang ingin melemahkan Pancasila. Ideologi yang kuat akan menciptakan bangsa yang disiplin.”

Sementara itu, Pastur Heri Wibowo dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) meminta DPR mengkaji kembali RUU HIP. “Oleh karena itu, kami meminta DPR untuk mengkaji kembali RUU ini, karena kami menolak segala bentuk pelemahan dan mendukung penguatan Pancasila dengan cara yang tepat,” sebut Romo Heri.
Foto Bersama Pimpinan Ormas dan Menkopolhukam

“Baru kali ini NU dengan berbagai ormas lain, seperti Muhammadiyah, Al Washliyah, PUI, dan lain-lain, punya pandangan yang sama. Padahal biasanya berbeda. Momentumnya menjadi pas karena yang bicara dari pihak pemerintah adalah Pak Mahfud,” tutur Andi Najmi Fuadi, Wasekjen PBNU yang juga hadir dalam pertemuan tersebut.

Selain persoalan Eka Sila dan kosa kata Gotong Royong yang sangat sensitif dalam telinga para pembelajar sejarah kelam Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia, sebenarnya ada hal lain yang tidak banyak diangkat oleh kaum muslimin, yaitu masuknya nilai-nilai Barat dalam memaksakan penafsiran atas Pancasila dalam draft RUU HIP ini. Pancasila sebagai Causa Prima seharusnya menjadi ruh dalam melahirkan manusia adil dan beradab, mencintai persatuan, senang bermusyawarah, dan bergerak bersama menciptakan keadilan sosial. Seorang Muslim sejati yang taat pada Kitab Sucinya lah yang disebut sosok Pancasilais. Hal ini dikemukakan oleh Dr. Wido Supraha, Wakil Ketua Umum Persatuan Umat Islam (PUI) yang disampaikan beliau dalam kesempatan yang diberikan.

Lebih lanjut, ada 3 (tiga) hal yang disampaikan wakil dari PUI, ormas Islam yang didirikan sejak 1911 tersebut, yakni bahwa RUU HIP tersebut juga mengandung nilai-nilai Barat yang dipaksakan ke dalam jantung NKRI. Lengkapnya, sebagai berikut:

1. Monopoli Soekarnoisme
RUU-HIP ini membatasi narasinya pada Pancasila versi pidato Soekarno 1 Juni 1945 semata. Secara umum, Pendiri PUI, KH. Abdul Halim memiliki kedekatan emosional dengan Soekarno. Hal ini terlihat dari seringnya KH. Abdul Halim membawa panganan Ubi dari Santi Asromo Majalengka kalau berangkat ke Jakarta bertemu Soekarno. Namun, membatasi hanya pada pemikiran Soekarno, secara langsung mengecilkan sejarah perjuangan bangsa Indonesia kepada perjuangan Soekarno semata, dan menghilangkan sejarah panjang pergulatan pemikiran para tokoh bangsa hingga lahirnya redaksi Pancasila yang ada dalam UUD 1945 hari ini.

2. Ideologi Barat
Pancasila yang menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Causa Prima dari keempat sila lainnya, ternyata ditafsirkan dengan menggunakan pemikiran-pemikiran Barat sebagaimana terlihat dari narasi Naskah Akademik. Selain masuknya kesetaraan Gender, yang mengejutkan sebenarnya masuknya unsur kata humanisme dan penafsiran nilai (value) yang sangat berkorelasi dengan humanisme. Dalam sudut pandang humanisme, kebaikan dan keburukan tidak berbasis Kitab Suci sebagaimana konsekuensi Berketuhanan, melainkan melalui pengalaman hidup manusia semata. Mengutip halaman 19 dari Naskah Akademik: “Nilai merupakan ide atau konsep yang akan menjadi penuntun seseorang dalam mengkonsepsikan kedudukan dirinya di dalam alam semesta. Dari tuntunan itu kemudian manusia dapat menentukan apa yang disebut kebaikan dan apa yang disebut keburukan dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dengan perkataan lain, nilai (value) merupakan sebuah idea yang selalu bersifat subjektif, berisi tentang apa yang baik dan apa yang harus dijauhi, tentang apa yang benar dan apa yang salah. Sebuah nilai tumbuh berdasar pengalaman hidup, dan tumbuhnya kesadaran rasional, serta dipengaruhi pula lingkungan tatanan sosialnya. Sebuah nilai akan menjadi mengikat sebuah komunitas apabila memang ada objektifikasi dari nilai yang sesungguhnya subjektif itu, melalui proses-proses penerimaan yang benar “.

3. Hilangnya Manusia Beradab diganti dengan Manusia Pancasila
RUU HIP tidak menjelaskan sama sekali tentang arah dari Manusia Beradab. Bahkan kata adil dalam sila ke-2, terkesan hilang dan menguap karena diarahkan seluruhnya pada Keadilan Sosial pada sila ke-5, yang tentunya berbeda makna dan konteksnya. Sangat wajar kemudian pendidikan dalam RUU HIP ini diarahkan sekedar pada melahirkan tenaga terampil dan tenaga ahli daripada tujuan besar pendidikan melahirkan manusia yang beradab.

Ketiga persoalan ini menambah daftar panjang alasan mengapa RUU HIP ini harus ditolak dan segera dihentikan pembahasannya agar semangat kebersamaan yang sudah lestari saat ini semakin terjaga, begitupun semangat keberagamaan dalam keberagaman yang telah terpupuk baik. 
Sumber: Widosupraha.com (Zoom)

Written by puijabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *