Ilustrasi by Google
Oleh: H. Eka Hardiana


Para Salafus Saleh Selalu Berusaha Mendidik dan Mengobati Jiwanya

Para Salafus Saleh sangat waspada setiap dari mereka mengetahui letak dosa, sebab, serta pengaruhnya.

Mereka selalu berusaha mendidik dan mengobati jiwanya, tidak pernah membiarkannya tunduk dalam kemaksiatan.

Abu Ayyub Al-Hammal mengatakan, “Aku berjanji kepada diriku untuk tidak berjalan dalam keadaan lalai, dan aku tidak berjalan kecuali sambil berdzikir. Suatu ketika, aku berjalan dalam keadaan lalai maka tiba-tiba kakiku pincang dan aku mengetahui dari mana aku harus mengulangi. Kemudian aku menangis dan memohon sepenuh hati kepada Allah serta bertobat dari kelalaian tersebut, maka hilanglah kepincanganku. Kemudian aku kembali ke tempat di mana aku mulai lalai dan kembali berdzikir lalu berjalan dengan selamat.”
[Hilyatul Awliya’: 1/314]

Abu Amru berkata, “Suatu hari aku pergi ke pasar di Rabbah untuk suatu keperluan, kemudian aku melihat jenazah yang sedang diusung maka aku mengikutinya untuk menshalatinya. Aku terus mengiringinya bersama sekumpulan orang hingga selesai acara penguburan, namun tanpa disengaja mataku tertuju kepada seorang wanita cantik. Aku terus memandanginya hingga aku tersadar dan mengucapkan inna lilahi wa inna ilaihi raji’un. Aku terus beristighfar dan kembali ke rumah namun seorang nenek tua berkata kepadaku, ‘Tuan, kenapa wajahmu menjadi hitam?’ Maka aku bergegas mengambil cermin dan benar aku melihat wajahku hitam. Kemudian aku merenungi diri, melihat apa yang telah aku kerjakan. Maka, aku teringat pandangan tersebut, lalu aku menyendiri untuk selalu beristighfar, memohon ampun selama 40 hari. Kemudian terbetik di hatiku untuk mengunjungi guruku Al-Junaid. Aku pun segera pergi ke Baghdad. Ketika aku mendatangi kamar yang yang biasa beliau huni dan mengetuk pintu, maka beliau berkata, ‘Masuklah Abu Amru! Engkau telah berbuat dosa di Rabbah dan kita memohonkan ampun bagimu di Baghdad’.”
[Shifatus Shafwqh:2/670].

Begitulah, orang mukmin tidak kenal lalai dari dosa yang telah diperbuatnya. “Tidak ada yang merasakan nikmatnya maksiat kecuali orang yang mabuk dengan kelalaian. Adapun orang mukmin, ia tidak merasakan kenikmatan maksiat karena ketika menikmatinya ia segera teringat akan keharamannya dan takut akan akibatnya. Apabila pengetahuannya kuat maka dia melihat dekatnya Zat Yang Melarangnya, sehingga hidupnya tersiksa ketika menikmatinya.”
[Shaidul Khathir. IbnuJauzi, hal. 142]

Sufyan berkisah tentang seseorang yang berkata, “Sungguh, aku sekali berdusta dan aku melihat pengaruhnya dalam amalanku.”
[Az-Zuhd, Abdullah bin Mubarak, hal. 22]

Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, “Aku sedang sakit dan aku mengetahui dosa mana yang membuatku sakit.”
[Hilyatul Auliya’: 9/267]

Makhlul Asy-Syami berkata, “Aku melihat seseorang sedang shalat. Setiap kali rukuk dan sujud dia menangis maka aku menuduhnya dalam hati bahwa orang tersebut menuduh riya’ dengan tangisnya. Karena itu, aku terhalang  dari menangis  selama setahun.
[Hilyatul Auliya’: 5/184]

(Bersambung)

Sumber:
Kitab Lamhah Tarbawiyah min Hayah At-Tabi’in, Asyraf Hasan Thabal (Edisi Indonesia, Tarbiyah Ruhiyah Ala Tabi’in)

Pamoyanan, 5 Sya’ban 1441 H/30 Maret 2020 M (Zoom)

Written by puijabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *