dedi mulyasanaOleh Dedi Mulyasana

Temuan-temuan besar atau karya-karya besar di dunia seperti yang terlihat dan rasakan saat ini berangkat dari keinginan atau obsesi yang besar.Demikian pula dalam hal pendidikan yang unggul dilingkungan umat Islam atau khususnya PUI. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan beberapa hal.

Pertama, terlebih dahulu harus mempunyai gagasan besar. Tidak bisa memulai sekolah unggul tanpa memiliki gagasan dulu. Gagasan besarnya yaitu menjadikan sekolah unggul sebagai dapur untuk mencetak masa depan umat dalam segala bidang. Dapur yang menyediakan bahan, meracik hingga memproduksi atau menghasilkan sumber daya unggul yang siap mengisi posisi-posisi yang dibutuhkan umat.

SDM unggul tersebut sejatinya untuk menghasilkan SDM yang lebih unggul lagi di masa depan. Tidak bisa mencetak manusia unggul tanpa memperhatikan perubahan zaman. Untuk itu, yang harus diperhatikan adalah perubahan-perubahan yang tengah terjadi baik skala nasional maupun lingkup global.

Kedua,  mampu menjawab segala tantangan jaman yakni masalah ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) khusus dalam modernisasi dan indutrialisasi yang dilihat arahnya akan dibawa kemana. Apakah dengan perubahan itu pendidikan yang kita kelola dan kembangkan itu akan tetap eksis atau justru hanyut dalam arus perubahan tersebut.

Jika tidak mampu menjawab segala tantangan tersebut maka harus dilakukan evaluasi untuk mengetahui letak kelemahannya selanjutnya menyusun strategi baru dan memetakan masa depan peserta didik mau dibawa kemana nantinya.

Misalnya, memetakan untuk 10 atau 20 tahun ke depan lalu simpan peta masa depan itu ke meja kerja hari ini. Kemudian kita siapkan mutu design pendidikan tentu harus jelas visi misinya.

Tujuan dan programnya juga harus jelas jangan sampai visi misi itu kita buat sesuai dengan keinginan saja, misal mencetak generasi yang unggul, cerdas, dan kompetitif sembari kita tidak mempunyai apa-apa.

Menyiapkan SDM unggul, bagus idenya, fasilitas tidak ada, namun mempunyai visi misi  hebat maka itu bukan visi misi melainkan hanya sejumlah keinginan saja. Visi itu harus betul-betul dianalisis dari mulai potensi , kekuatan, hingga masalah .

Visi, misi, dan program ini berorientasi pada mutu bukan berorientasi pada administrasi dalam arti yang sederhana. Tapi harus betul-betul berorientasi pada mutu pembelajaran. Selama ini yang terlihat visi, misi, dan program hingga manejemen pendidikan masih berorientasi pada segi atau persoalan administrasi saja bukan pada mutu pembelajaran.

Kalau desain mutu sekolah unggul misalnya dalam lingkungan PUI kita sudah punya hal itu, programnya seperti apa pola kepemimpinannya seperti apa, gurunya seperti apa, kita mencetak budaya belajar, proses belajarnya . Kalau hanya berorientasi pada angka dan ijazah maka tidak perlu visi,misi. Untuk apa membuat sekolah unggul jika ujung-ujungnya hanya berorientasi pada ijzah dan angka-angka saja. Kita hanya membekali anak didik dengan selembar ijazah.

Namun bagaimana mewarnai ijazah itu dalam perfomen sehingga anak keluar itu betul-betul matang bukan keluar hanya sekedar membawa selembar ijazah. Oleh karena itu, semua orang harus mempunyai keunggulan kompetitif yakni kemampuan kreatif semua pihak untuk belajar dan bekerja lebih awal lebih unggul dari yang lain. Jangan sampai orang lain sudah ditujuan sementara kita baru berangkat.

Usahakan kita berada di finish lebih dulu pada saat orang lain masih di perjalanan. Atau kita harus mampu menguasai dan menjawab masalah terlebih dahulu sebelum orang lain baru mempelajari menyelesaikan masalah. Kita sudah mampu menjawab tantangan perubahan disaat orang lain baru sadar ada perubahan.

Keunggulan kompetitif juga bermakna semangat untuk selalu berada didepan. Caranya kita harus menjadi orang-orang yang professional  harus bisa baca dan bisa belajar. Tidak bisa menjadi manusia unggul yang kompetitif namun tidak bisa baca dalam arti luas dan tidak mau belajar. Kita harus punya keinginan untuk memajukan diri dan memajukan umat yang unggul.harus ada tekad yang kuat serta harus mempunyai komitmen pada diri sendiri untuk menjadi manusia unggul.

Selanjutnya dalam tata kelola jangan konsentrasi pada manajemen,aturan dan administrasi semata karena semua itu hanya alat. Namun  harus konsentrasi pada mutu pembelajaran itu yang harus diutamakan. Sekarang ini ‘kan tidak, kepala sekolah hanya senang jika guru-gurunya membuat Rencana Program Pendidikan (RPP) sementara dia tidak peduli pada peserta didiknya mau pinter atau bodoh, malas atau rajin. Ia akan marah jika jika guru tidak bisa membuat RPP, padahal itu hanya masalah administrasi.

Ada kasus anak didik tidak boleh ikut belajar hanya karena si anak tidak memakai seragam, padahal sekolah bukan sekadar urusan seragam. Sekolah mengajarkan berpikir dan mengembangkan daya kreativitas bukan sekedar formalitas.

UU No. 14 tahun 1977 tentang pendidikan menyebutkan guru dan dosen itu harus profesional yang berorientasi pada mutu. Namun apakah profesional itu saat ini bisa diterapkan, sulit karena UU Pendidikan Nasional belum didesain menjadi UU yang profesional namun masih atau lebih menekankan pada aspek administrasi, birokrasi, dan kontrol. Sementara guru dituntut untuk profesional padahal sarana pembelajaran terbatas.

Guru juga terbatas untuk membangun profesional tersebut serta budaya belajar yang masih rendah. Ditambah adanya program pendidikan guru yang terkesan instan. Cukup enam bulan ikut pendidikan guru, lalu mendapat sertifikasi dicetak menjadi guru profesional dari mana pun latar belakangnya.

Apa itu yang dimaksud professional hanya karena beralih profesi dari seorang ahli tehnik, politik, ekonomi, dan sebagainya, lalu beralih profesi menjadi guru profesional hanya berbekal selembar surat keterangan sertifikasi yang didapat setelah mengikuti program pendidikan guru selama 6 bulan.

Semangat profesionalisme terganggung dengan program pendidikan guru yang hanya 6 bulan itu. Padahal keahlian itu bisa didapat dengan belajar sementara salah satu bekal menjadi guru professional itu dia harus mempunyai naluri kependidikan yang kuat.

Profesionalisme  untuk membuat sekolah unggul juga terganggu dengan struktur kepemimpinan. Kepala sekolah itu tidak disebut sebagai jabatan yang memiliki jabatan struktur profesional yang profesional itu guru.

Kepala sekolah itu guru yang mendapatkan jabatan tambahan, yang profesional itu gurunya yang berorientasi pada mutu, sementara kepala sekolah hanya menjalankan alokasi. Guru profesional menjalankan strategi yang telah dirumuskan.

Mesti Ada Pilihan

Untuk mengembangkan sekolah unggul mesti ada pilihan-pilihan yang terukur dan berujung pada putusan yang akurat. Akurat kalau dia menguasai  masalah, data. Keputusan yang tidak akurat atau tidak tepat akan bisa menyengsarakan orang banyak.

Contohnya dalam memutuskan Kurikulum 2013 ada yang belum match atau sinkron dengan yang ada dilapangan. Di atas sudah diputuskan sementara di tingkat bawah atau pelaksana belum siap.

Kultur dan kinerja guru ditambah budaya belajar siswa serta fasilitas belajar belum sepenuhnya siap menjalankan Kurikulum 2013. Masih berorientasi pada system politik dan konstektual belum berorientasi pada mutu pendidikan.

Manejemen pendidikan dan kebijakan harus diubah tidak bisa disamakan dengan yang sudah dan sedang berjalan atau kemarin. Kalau terlambat menyediakan factor-faktor tersebut dan terlambat menyiapkan alat dukungnya maka dikawatirkan anak didik akan menjadi korban.

Bandingkan dengan dunia kesehatan atau kedokteran biasanya uji coba terhadap obat menggunakan hewan. Sementara dalam dunia pendidikan ujicobanya langsung pada manusia atau khususnya anak-anak. Kalau hal ini belum siap kawatir yang menjadi korban itu anak. Anak ini manusia yang tidak bisa dijadikan alat uji coba, kalaupun ada riset maka sifatnya psudo (tidak murni) eksperimennya. Ini dari sudut kurikulum belum kita bicara yang lain.

Selain itu penting juga untuk dilakukan yakni merubah paradigma atau image tentang sekolah unggul. Selama ini ada kesan bahwa sekolah unggul itu gedungnya megah sehingga terlihat mewah, sekolah unggul itu harus mahal dan sebagainya. Padahal tidak demikiannya.

Umat Islam harus baca dan belajar sejarah banyak generasi-generasi unggul lahir dari lingkungan dan madrasah yang sederhana. Meski zaman telah berubah harusnya perubahan itu membawa kebaikan dan semangat belajar mereka bisa kita tiru dan praktekan saat ini.

Permasalahan dan Tantangan Umat  Islam

Umat Islam ini kurang peduli pada harga diri umat, seolah harga diri itu bisa diperoleh atau didapat dengan uang,jabatan dengan mengorbankan diri umat. Akibatnya, terjadi adanya perpecahan atau konflik dalam diri umat pada hal yang tidak penting.

Konflik antar umat Islam sejatinya tidak menguntungkan bagi masa depan anak-anak. Bagaimana bisa maju jika umat Islam masih terjebak hingga terbawa dalam debat-debat panjang pada hal-hal yang tidak asasi, hanya masalah-masalah teknis mapun nonteknis atau konflik kepentingan yang tidak membawa pada kemajuan umat.

Celakanya, yang berkonflik itu suka berlindung di balik ormas atau parpol sehingga seolah-olah ada konflik antar ormas atau kelompok padahal hanya konflik antar kepentingan pribadi. Untuk itu, hal-hal sepele demikian sudah saatnya umat Islam harus ditinggalkan, dihindari atau dijauhi paling tidak diminimalisir.

Yang harus dikedepan adalah sikap ukhuwah atau kerjasama antar sesama umat Islam apa pun ormasnya. Sehingga akan terwujud persatuan umat Islam yang bisa menjadi kekuatan besar dalam segala bidang kehidupan untuk kemajuan umat Islam itu sendiri.

Tantangan umat Islam dalam meningkatkan mutu pendidikan atau membuat sekolah unggul.

Pertama, masih tertinggal jauh dalam hal mendapatkan akses-akses informasi termasuk didalamnya sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sadar atau tidak umat Islam kini soal sumber informasi dalam hal ini media-media atau teknologi informasi masih dikuasai dan dikelola oleh orang-orang non muslim.

Kalaupun ada umat Islam yang sampai menjadi mengelola, maka ia tidak mempunyai kebijakan apa-apa. Ia hanya seorang pekerja yang menjalankan perintah. Padahal di zaman sekarang kompetisi itu tidak hanya berlangsung di darat (nyata) melainkan sudah merambah udara (dunia maya) yang didalamnya terdapat sumber informasi, teknologi hingga ilmu pengetahuan. Kalau hal ini tidak dikuasai oleh umat Islam maka posisinya paling banter hanya di  posisi dua atau mungkin dibawah lagi.

Kedua, budaya sebagian besar umat Islam belum mempunyai budaya kerja keras dan cerdas. Ada yang kerja keras tapi tidak cerdas,hanya mengandalkan tenaga saja pun ada yang sudah cerdas, namun tidak mau bekerja lebih keras lagi, merasa cukup dengan hasil yang ada padahal jika sedikit mau kerja keras lagi maka hasilnya bisa berlipat-lipat dan bisa membawa  kemaslahatan umat yang lebih luas.

Allah SWT sudah menjanjikan dalam Al Quran (QS:94 :5,6,7): “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan) ,tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)”.

Indikasi kerja keras dan cerdas adanya budaya mutu. Ada sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang telah memiliki standar mutu namun itu tidak ada artinya jika tidak mempunyai budaya mutu.

Dalam Islam sudah ada konsep-konsep yang jelas. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw berpesan yang intinya jika engkau ingin dicintai Allah, jika engkau bekerja, maka baguskanlah pekerjaanmu. Ini adalah budaya mutu yang telah diajarkan oleh Rasulullah 14 abad yang lalu. Mengapa ada orang yang kerja keras lalu sukses? Bisa jadi ia dicintai oleh Allah.

Umat Islam harus memiliki semangat dan sikap kinerja yang bebas dari cacat dan kesalahan (zero the fact).

Ada baiknya jika mulai dari lingkungan PUI dulu dicanangkan hari kerja bebas dari cacat dan kesalahan (zero the fact day). Lalu di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang yang dimiliki diterapkan hari bebas komplain atau keluhan (zero complaint day),bebas dari keluhan siswa,orang tua dan masyarakat.

Jika sudah ada dalam lingkungan PUI maka insya Allah akan menular pada umat Islam lainnya dengan mencanangkan hari bebas dari dosa dan kemaksiatan (zero sin day).Walaupun dalam diri umat Islam sudah tertanam bahwa setiap hari hari harus bebas dari dosa dan kemaksiatan (everyday zero sin day), namun kenyataannya masih banyak dosa dan kemaksiatan.

Untuk itu, ada baiknya coba kita canangkan ada satu hari di mana  umat Islam berusaha tidak melakukan dosa dan kemaksiatan. Semua berlomba-lomba dalam amal shaleh dan kebajikan, dampaknya bisa luar biasa.

Salah satu kuncinya adalah nikmati pekerjaan itu sebagai bagian dari ibadah sehingga kita akan melakukan yang terbaik,mempersembahkan amal terbaik kita dihadapan Allah SWT. Dengan demikian kita akan bersungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan termasuk menjadi seorang guru atau pengajar.

Bekerja nikmati prosesnya, baca buku nikmati alurnya, shalat nikmati setiap bacaan dan maknanya. Jika kita sudah bisa menikmati segala sesuatunya maka apa yang kita kerjakan tidak lagi menjadi beban.

Model sekolah unggul berpotensi berdiri dilingkungan PUI,modal kuatnya adalah semnagat ukhuwwah. Sebenarnya sekolah unggulan sudah ada lingkungan PUI yang diperlukan adalah seperti yang telah disebutkan di atas,orientasi mutu,budaya mutu dan budaya kerja sehingga prestasinya bisa sejajar atau lebih baik lagi jika disbanding ormas lain. Bangunan maupun lembaga pedidikan sudah ada begitupun dengan asset yang ada tinggal memanfaatkan.

Hebatnya memperbaiki yang “bocor” lebih efektif dari merubah total atau membangun dari nol. Selain itu, modalnya juga adalah kepercayaan dari masyarakat yang sudah ada. Kader dan jamaah PUI harus mempunyai keyakinan atau sikap optimis bahwa kita mampu melahirkan kader-kader unggul lewat lembaga pendidikan unggul yang dimiliki PUI. Sehingga kelak mereka akan berkontribusi bangsa dan Negara  serta menjadi  kebanggaan umat Islam seperti generasi unggul terdahulu.

Secara SDM, PUI sudah mempunyai banyak kader-kader unggul atau intelektual muslim dalam beberapa bidang. Hal ini bisa menjadi modal yang besar untuk itu kader-kader unggul berbasis intelektual muslim PUI tersebut harus dimanfaatkan secara optimal.

Pencapaian PUI seperti yang terlihat dan rasakan sekarang ini berawal dari gagasan besar para pendirinya. Gagasan besar itu harus terus kita lanjutkan bersama dalam rangka turut serta mencerdaskan umat sehingga umat Islam maju dan unggul di segala bidang kehidupan termasuk dalam bidang pendidikan.*

Prof. Dr. H. Dedi Mulyasana, M.Si  adalah Guru Besar Manajemen Pendidikan dan Strategi Politik Universitas Islam Nusantara (Uninus), Ketua Prodi S3 Manajemen Pendidikan PPs Uninus, Ketua Dewan Pakar PW PUI Jabar.

Written by puijabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *