Oleh: Syamsudin Kadir
Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat

Pada Ahad 10 Oktober 2021 saya mendapat undangan untuk menghadiri acara Pelantikan, Upgrading dan Rapat Kerja HIMA PUI Kabupaten Cirebon Masa Amal 2021-2022 di Sekretariat DPD PUI Kabupaten Cirebon yang tak jauh dari Kantor Polisi Sektor Sumber dan Kampus 2 Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC). Pada acara yang mengangkat tema “Meningkatkan Semangat Berorganisasi dengan Berlandaskan Intisab PUI untuk Melahirkan Generasi yang Inovatif, Unggul dan Berkualitas” ini menghadirkan beberapa tokoh sekaligus akademisi sebagai narasumber.

Berkaitan dengan tema yang diangkat pada forum istimewa tersebut saya menjadi tertarik untuk mengingatkan HIMA PUI (Himpunan Mahasiswa Persatuan Ummat Islam) termasuk yang di Cirebon Raya untuk terus melakukan pembenahan dalam banyak sisi. Misalnya kualitas sumber daya manusia, entrepreneurship, inovasi, kreatifitas, responsifitas, kepedulian, advokasi, komunikasi, jaringan atau jejaring, kolaborasi, wacana publik, isu-isu prioritas, penguasaan isu, melek media, publikasi, dan masih banyak lagi.

Dalam konteks yang lebih luas, salah satu pekerjaan rumah HIMA PUI dan gerakan mahasiswa lainnya saat ini adalah soliditas gerakan multi pergerakan atau organisasi. Padahal soliditas adalah kunci utama bagi mobilitas gerakan mahasiswa. Bila kita menelisik perihal ini maka dapat dikatakan bahwa mobilitas gerakan mahasiswa setiap zaman mempunyai tantangan yang berbeda-beda. Misalnya, gerakan mahasiswa Angkatan ’66 membumikan isu otoritarian state dengan ikon Tritura. Angkatan ’74 dengan peristiwa Malari (Malapetak Lima Belas Januari) yang mengusung isu NKK/BKK dan perjuangan menuntut otonomisasi negara dari intervensi asing. Angkatan ’78 mengangkat isu perlunya realisasi demokrasi, transparansi, akuntabilitas serta pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dengan ikon menolak Soeharto sebagai calon presiden (Demokrasi Suatu Keharusan, Anwari WMK, 2004).

Sedangkan angkatan ’98 menggemakan isu reformasi dengan semboyan perjuangan ‘Enam Visi Reformasi’. Angkatan 2001 mengangkat isu reformasi jilid 2 berikon ‘demokratisasi’. Angkatan 2004 mengusung isu revolusi dengan ikon cut generation (potong generasi). Angkatan setelahnya menghadirkan berbagai tema besar dalam beragam isu. Semuanya tergerak karena adanya tema sekaligus isu bersama, walau pun ada saja dinamika antar organisasi yang menyebabkan isu-isu yang diangkat terkesan liar dan bias kepentingan. Hanya saja dalam skala unum masih terlihat dan nampak solid.

Pasca itu, pergerakan mahasiswa terfragmentasi ke dalam berbagai kelompok berdasarkan isu segmentatif berbasis kepentingan: ideologi dan pandangan gerakannya masing-masing terhadap berbagai isu strategis kebangsaan dan kenegaraan. Sehingga bisa dikatakan sejak 2010 hingga saat ini gerakan mahasiswa seperti kehilangan isu bersama yang membuat mereka bisa duduk bersama dan menemukan isu yang digelindingkan dalam skala masif dan terorganisir.

Urgensi Gerakan Mahasiswa

Walau begitu, perjalanan negeri ini tidak bisa menegasikan peran penting gerakan mahasiswa. Bahkan kekuatan gerakan mahasiswa sungguh menakjubkan. Kenyataan semacam ini mengingatkan kita pada tesis filsuf Hanna Arent ‘The Human Condition’ (New York, 1956), yang mengatakan bahwa, “instrumental dan degradasi politik takkan pernah berhasil membungkam pergerakan atau menghancurkan realitas masalah-masalah kemanusiaan”. Dan itu menunjukkan gerakan mahasiswa terbangun di atas etika no blesse oblige (Burhan D. Magenda, 1997), yang didefinikan sebagai suatu previlege atau etika yang terbangun atas dasar semangat militansi dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Sementara itu—menurut Arbi Sanit (1985)—ada lima hal yang melatar-belakangi semangat militansi mahasiswa dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Pertama, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, memiliki perspektif atau pandangan yang cukup luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa sebagai golongan yang cukup lama bergelut dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara generasi muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa, dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi di antara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan memiliki keistimewaan tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok elite di kalangan kaum muda. Kelima, mahasiswa rentan terlibat dalam berbagai pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah yang timbul di tengah kerumunan masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya.

Written by PUI Jabar

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *