Oleh: Egi Sopian. (Ketua Biro Dakwah DPW PUI Jawa Barat)
Perbedaan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia baik dalam urusan agama maupun urusan dunia sejak dahulu kala dan akan tetap ada sampai hari kiamat nanti. Hal ini merupakan hikmah ilahiyah supaya tampak jelas antara yang haq dan yang batil, tetapi orang-orang yang mendapat rahmat dan petunjuk Allah SWT tidak akan berbeda pendapat dalam perkara ushuuluddiina/dasar-dasar agama karena mereka mengetahui jalan kebenaran dan mengikutinya untuk kemaslahatan umat manusia.
ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة ولايزالون مختلفين. إلا من رحم ربك ولذلك خلقهم.
Artinya: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Allah jadikan umat yang satu. Tetapi, mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Untuk itulah, Allah menciptakan mereka” (QS. Hud [11]: 118-119).
Kendati perbedaan pendapat, tujuan, orientasi dan cita-cita merupakan fitrah manusia, tetapi upaya untuk menghilangkan konflik dan memperkecil jurang perpecahan merupakan tugas mulia seorang muslim. Karena itu, dia sadar bahwa perbedaan adalah rahmat untuk mencari meeting of mind/ titik temu, mendinamiskan serta memperkaya khazanah kehidupan. Oleh karena itu, segala bentuk prasangka, sentimen, serta niat saling mengungguli dalam pengertian negatif harus dihindari seoptimal mungkin karena akan meruntuhkan tatanan pergaulan manusia dan mengkhianati posisi kebersamaan.
Pancaran sikap dan karakter seorang muslim justru karena cinta, dia tidak ingin orang lain merasa terancam, resah serta tersakiti karena kehadiran dirinya, memprioritaskan kemanusiaan di atas kepentingan individu. Secara umum, hal ini disabdakan Rasulullah SAW: “Sayangilah penduduk bumi niscaya yang di atas langit pun akan menyayangi kalian” (HR. Abu Dawud).
Dalam perbedaan inilah terdapat keindahan dan kesempurnaan hidup, sekaligus menunjukkan kuasa Allah SWT. Adapun sebab-sebab perbedaan itu sendiri, di antaranya adalah:
Pertama, Tidak Sanggup Memahami Permasalahan.
Masing-masing belah pihak tidak sanggup memahami permasalahan secara komprehensif/ lengkap. Hal ini diumpamakan seperti sekelompok orang buta yang memegang seekor gajah besar. Orang pertama memahaminya melalui satu sisi, orang kedua juga memahaminya melalui sisi yang lain, begitulah orang ketiga dan seterusnya.
Setiap mereka memberikan ciri-ciri gajah berdasarkan apa yang mereka pegang. Sejatinya, jika telah diketahui inti permasalahan yang diperselisihkan, maka lenyaplah segala bentuk perbedaan.
Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkata: “Pandanglah pada kebenaran, bagaimana mampu menyatukan mereka, pandanglah kebohongan dan kesalahan yang masuk pada diri mereka hingga meretakkan persatuan mereka”.
Kedua, Fanatisme Golongan.
Sejarah mencatat, ketika terjadi pertempuran antara blok Musailamah Al-Kadzdzab dengan kaum Muslim, salah seorang kaki tangannya berkata: “Demi Allah, sesungguhnya tampak jelas bahwa tampangmu adalah tampang pendusta, tetapi tidaklah mengapa aku menjadi kaki tanganmu, karena bagiku seorang pendusta yang membawa keberuntungan lebih baik dari pada orang jujur yang membahayakan”.
Ketiga, Melakukan Taklid Tanpa Ilmu.
Taklid buta semestinya tidak dilakukan seorang muslim, apalagi jika disertai dengan sikap keras kepala, mengingkari kebenaran, dan tunduk kepada hawa nafsu. Seyogyanya dia mengetahui dalil dari Al-Qur’an dan sunnah yang menjadi landasan orang yang diikutinya tersebut.
Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua akan diminta pertanggung jawaban” (QS. Al-Isra’ [17]: 36).
“Ya Allah, satukanlah hati kami, perbaikilah hubungan sesama kami, tunjukkanlah kami jalan kebenaran, selamatkanlah kami dari kegelapan menuju cahaya, jauhkanlah kami dari perbuatan-perbuatan keji yang nampak maupun yang tersembunyi” aamiin. (Zoom)